JAKARTA, Cobisnis.com – Ombudsman RI menyoroti bahwa harga tiket bus selama periode mudik Lebaran 2024 mengalami kenaikan hingga 100 persen atau dua kali lipat dari harga normal.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengungkapkan, kenaikan harga tiket bus ini terjadi imbas tidak adanya pengaturan tarif. Tarif yang diatur oleh pemerintah melalui ketetapan tarif batas atas hanya berlaku bagi kelas ekonomi.
“Permasalahan berikutnya adalah soal harga tiket. Regulasi yang berlaku saat ini hanya mengatur tentang tarif batas atas tiket bus kelas ekonomi,” kata Hery dalam agenda Penyerahan Laporan Hasil Pemantauan Mudik Lebaran Tahun 2024 yang dipantau secara daring, Senin, 27 Mei.
Hery menilai, bus kelas ekonomi cenderung disediakan beroperasi untuk jarak dekat. Sementara itu, untuk jarak jauh seperti pada mudik Lebaran 2024 menggunakan bus kelas non ekonomi, seperti bisnis ataupun eksekutif.
“Padahal, beberapa PO bus tidak lagi menyediakan kelas ekonomi, pada umumnya bus kelas ekonomi hanya disediakan untuk jarak dekat. Masyarakat lebih memilih bus kelas non ekonomi dibandingkan dengan bus kelas ekonomi,” ucapnya.
Dengan kecenderungan itu, ada keleluasaan dari Perusahaan Otobus (PO) yang mengatur harga selama periode mudik lebaran. Hasilnya, harga tiket bus naik hingga dua kali lipat.
“Pada saat mudik Lebaran, harga tiket bus non ekonomi mengalami kenaikan yang signifikan hingga 100 persen. Namun, tidak ada pengaturan tarif batas atas bus dengan kelas non ekonomi. Sehingga, naik turunnya harga tiket bus non ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar,” kata dia.
Adapun Ombudsman RI telah merampungkan hasil pantauan selama penyelenggaraan mudik Lebaran 2024. Berdasarkan hasil laporannya, ditemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan mudik dengan armada bus.
Menurut Hery, pihaknya lebih banyak menemukan masalah pada angkutan bus dan laut. Sementara untuk sektor perkeretaapian dan angkutan udara cenderung tak ada masalah selama periode mudik Lebaran 2024.
“Dalam kesimpulan temuan terkait, saya harus bicara terbuka bahwa temuan ini banyak di transportasi darat dan laut. Kalau udara praktis lancar, kalau yang kereta api saya lihat sudah baik. Hanya di dua (moda transportasi), yaitu bus dan angkutan laut serta penyeberangan antar pulau,” tuturnya.
Berdasarkan hasil pemantauan, banyak bus yang masuk dan keluar terminal namun tidak dilakukan pemeriksaan kondisi fisik bus dan kelengkapan administrasi kendaraan oleh petugas perhubungan.
Dia menambahkan, pelaksanaan ramp check sering dilakukan pada saat bus sudah penuh dengan penumpang. Sehingga, kegiatan ramp check tidak dilakukan secara optimal.
“Tidak ada mekanisme monitoring yang dilaksanakan secara efektif untuk memastikan bahwa bus dengan catatan temuan hasil ramp check melakukan perbaikan. Bahkan, tidak ada monitoring yang memastikan bus dengan kategori tidak laik jalan tidak beroperasi,” jelas dia.
Di samping itu, kata Hery, ada persoalan terkait minimnya fasilitas sarana dan prasarana pada beberapa terminal bus, seperti petunjuk arah, ruang tunggu, akses bagi penyandang disabilitas dan ruang laktasi yang kurang memadai.
Terkait hal tersebut, Hery mengaku ada beberapa terminal belum menyediakan Posko Pelayanan Kesehatan. Selain itu, aktivitas menaikkan dan menurunkan penumpang terjadi di luar terminal.
“Hal tersebut dialami pada beberapa provinsi di luar jawa, seperti Lampung dan Sumatera Utara. Selain itu, masih ditemukan pemberlakuan tarif pada penggunaan toilet di terminal Bus,” ungkapnya.
Terakhir, lanjut Hery, belum adanya pendirian posko mudik gabungan dan nomor pengaduan di beberapa terminal. Adapun posko tersebut terdiri dari kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat maupun daerah guna mempermudah dan mengintegrasikan penanganan mudik Lebaran.
“Berdasarkan pemantauan tim survei mudik, pada umumnya di terminal bus tersedia posko mudik dengan petugas yang berasal dari berbagai instansi, baik dari sektor perhubungan, keamanan, kantibmas maupun kesehatan. Namun, masih ada terminal yang belum dilengkapi dengan posko gabungan dan nomor pengaduan,” imbuhnya.