JAKARTA,Cobisnis.com – Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terjadi perubahan yang signifikan dan berpotensi menimbulkan polemik, perubahan tersebut diatur pada Bagian Keempat, diantaranya pada angka 20 dalam Pasal 48B ayat (1), OJK berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan. Sebelum dimulainya penyidikan dilakukan penyelidikan, namun pada tahap penyelidikan pihak yang diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan dapat melakukan permohonan untuk penyelesaian pelanggaran hukum yang dilakukannya. Terhadap permohonan tersebut OJK melakukan penilaian dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran. Penilaian tersebut mempertimbangkan minimal ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana, nilai transaksi dan/atau kerugian atas pelanggaran dan terakhir mempertimbangkan dampak terhadap sektor jasa keuangan, LJK, dan/atau kepentingan nasabah, pemodal atau investor, dan/atau masyarakat. Apabila OJK menyetujui permohonan maka pihak yang melakukan tindak pidana wajib melaksanakan kesepakatan dengan OJK termasuk membayar ganti rugi. Ketika kesepakatan dan ganti rugi sudah terpenuhi maka OJK menghentikan penyelidikan. Selain itu OJK memberikan sanksi administratif terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagaimana diatur pada angka 20 dalam Pasal 48B ayat (10).
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan yang akan dilakukan oleh OJK terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan adalah tindakan administratif atau yang biasa dikenal dengan restorative justice, padahal tindak pidana di sektor jasa keuangan mempunyai potensi kejahatan yang luar biasa, oleh karenanya pendekatan restorative justice harus ditempatkan dan diimplementasikan sesuai porsinya dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku. Mengingat jenis kejahatan yang terjadi di sektor jasa keuangan merupakan white collar crime yang dapat merugikan masyarakat dengan nilai material yang besar, implementasi restorative justice menjadi keliru jika sampai membebaskan pelaku dari sanksi pidana sehingga tidak berdampak pada tujuan penegakan hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku. Dengan tidak adanya batas maksimal nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran yang bisa menjadi pertimbangan OJK untuk menghentikan penyelidikan, berpotensi penilaian
yang dilakukan tidak objektif, kemudian apakah kerugian turunnya kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan dengan digantinya kerugian tersebut. Apalagi jika terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana memiliki modal yang besar dan mampu untuk menyelesaikan kerugian yang timbul maka penyelidikannya bisa dihentikan walaupun dari hasil kejahatannya tersebut pelaku sudah memperoleh keuntungan dari kejahatan yang dilakukan. Bagian Keempat angka 20 Pasal 48B ayat (5) mengatur OJK mempertimbangkan minimal dari tiga pertimbangan yang ditentukan, sehingga dengan hanya satu pertimbangan saja pelaku tindak pidana bisa lolos dari jerat hukum. Selain itu ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan transaksi jual beli perkara dan gratifikasi dimana pelaku tindak pidana dapat menggelontorkan uang agar dapat terlepas dari sanksi pidana.
Penyusun undang-undang harusnya memahami betul bagaimana implementasi restorative justice dalam UU P2SK. Jika bercermin pada implementasi di Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482, konsep restorative justice hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta. Selain itu restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahgunaan narkotika. Di dalam restorative justice terdapat prinsip dasar yang merupakan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku yang melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan lain. Sehingga jelas jika dibandingkan dengan penerapan dalam KUHP yang hanya menerapkan restorative justice untuk jenis pidana dan sanksi pidana yang ringan, maka penerapan restorative justice dalam UU P2SK tidak tepat untuk pelaku kejahatan white collar crime yang menimbulkan kerugian dengan nilai material yang besar serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.
Pendekatan OJK terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan mengedepankan tindakan administratif tanpa mendahulukan penyidikan tindak pidana berbanding terbalik dengan keinginan OJK untuk menjadikan pegawai OJK sebagai penyidik sebagaimana ketentuan di Bagian Keempat angka 21 Pasal 49 ayat (1) huruf c, padahal sudah ada penyidik Polri dan PPNS yang ditugaskan sebagai penyidik di OJK, apa urgensi menjadikan pegawai OJK sebagai penyidik? terlebih lagi ketentuan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Menjadikan pegawai OJK sebagai penyidik akan menimbulkan polemik dan tidak ada manfaatnya jika pelanggaran di sektor jasa keuangan diberikan sanksi administratif oleh OJK daripada sanksi pidana. Selain itu status kepegawaian pegawai OJK yang bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 butir ke-1 KUHAP dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP yang mengatur hanya anggota Polri dan PPNS yang dapat menjadi penyidik. Pertentangan tersebut dapat menjadi alasan untuk mengajukan pra peradilan terkait penyidikan sektor jasa keuangan.
Tetapi nampaknya melalui UU P2SK, OJK ingin memonopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan, karena selain pegawainya dijadikan penyidik, UU P2SK juga
mengatur di Bagian Keempat angka 21 Pasal 49 ayat (5) bahwa Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian dipertegas dengan ketentuan berikutnya yang menyebutkan Penyidikan atas tindak pidana Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, dan Perasuransian hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu juga melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal berupa tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (5) huruf m. Selain itu UU P2SK juga mengatur ketentuan pidana lainnya seperti Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Pasar Uang dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing, Badan Pengelola Instrumen Keuangan (Special Purpose Vehicle) dan/atau Pengelola Dana Perwalian (Trustee), Program Penjaminan Polis, Usaha Jasa Pembiayaan, Kegiatan Usaha Bulion, Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Pelindungan Konsumen.
Monopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan dikhawatirkan menimbulkan perilaku koruptif karena pengawasan penyidikannya tidak jelas dan memberikan kelonggaran terhadap oknum-oknum di industri jasa keuangan, karena mereka tidak akan takut lagi untuk diperiksa oleh penyidik Polri di Bareskrim atau Polda karena hanya penyidik OJK yang dapat melakukan penyidikan, sedangkan anggaran operasional OJK berasal dari pungutan industri jasa keuangan yang akan mempengaruhi independensi dan integritas penanganan tindak pidana sektor jasa keuangan.
Selain itu monopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan akan menimbulkan sengketa kewenangan dengan Polri. Karena di Bareskrim Polri terdapat Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus yang di dalamnya terdapat Sub Direktorat Perbankan, Sub Direktorat Industri Keuangan Non-Bank dan Sub Direktorat Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian di tingkat Polda di seluruh Indonesia terdapat Direktorat Reserse Kriminal Khusus yang di dalamnya juga menangani tindak pidana di sektor jasa keuangan. Jika penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK, bagaimana dengan penyidik Polri ? apakah sejak diundangkan UU P2SK tidak boleh lagi melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan ? walaupun di Bagian Keempat angka 21 Pasal 49 ayat (6) mewajibkan OJK berkoordinasi dengan Polri dalam melaksanakan penyidikan, tetapi koordinasi dalam hal apa ? karena di UU P2SK tidak mewajibkan OJK memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Polri, melainkan langsung kepada penuntut umum. Padahal Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa koordinasi dengan penyidik kepolisian dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum dan Mahkamah menilai kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Kemudian apabila penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system, Mahkamah akan mempertimbangkan kewenangan penyidikan OJK lebih lanjut.
Monopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan oleh OJK dianggap mereduksi kewenangan Polri, karena di UU Polri dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g tugas Polri yaitu melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Jika Polri tidak dapat melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, bagaimana nasib penyidik di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus ? kemudian bagaimana jika di dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan juga terjadi tindak pidana umum ? siapa yang akan menangani ? apakah penyidik pegawai OJK memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana umum yang terjadi di sektor jasa keuangan ? karena ketentuan Pasal 49 ayat (5) tidak melimitasi jenis tindak pidana tetapi hanya menyebutkan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Apakah lantas menjadi wewenang penyidik Polri yang ditugaskan di OJK ? tetapi wewenang penyidik Polri yang ditugaskan di OJK kewenangannya mengikuti kewenangan penyidikan OJK yang diatur dalam Pasal 49 ayat (7) dimana penyidik Polri yang ditugaskan di OJK tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan, tetapi harus meminta bantuan Polri dalam hal ini Korwas PPNS Bareskrim Polri sebagaimana ketentuan Pasal 49 ayat (7) huruf g.
Keinginan OJK untuk memonopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan tidak berbanding lurus dengan kesiapan OJK untuk menanganinya, mengingat UU P2SK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan sedangkan jumlah kantor perwakilan OJK tidak tersebar di seluruh Indonesia, hal ini tidak sebanding dengan banyaknya ancaman ataupun jumlah kejahatan di sektor jasa keuangan. Kemana masyarakat akan melaporkan tindak pidana jika di daerahnya tidak ada kantor perwakilan OJK ? Pada sisi lain, fakta menunjukkan bahwa penyidik Polri telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan demikian pada dasarnya mudah bagi penyidik Polri untuk menerima laporan kejadian tindak pidana di di sektor jasa keuangan dibandingkan dengan OJK. Hal yang lebih penting adalah bagaimana nasib penanganan perkara pidana di sektor jasa keuangan yang sedang ditangani oleh penyidik Polri ? apakah akan dilimpahkan ke OJK ? padahal hampir setiap Polda di seluruh wilayah Indonesia dan Bareskrim Polri sedang menangani perkara pidana di sektor jasa keuangan baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan.
Monopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan selain bertentangan dengan UU Polri juga bertentangan dengan ketentuan KUHAP sebagaimana yang selama ini menjadi pedoman dalam hukum acara pidana. Terlebih makna pada Pasal 49 ayat (3) dalam status formil kepegawaian sekalipun memenuhi kualifikasi oleh Polri jelas berbeda dan tetap tidak dapat dipersamakan dengan penyidik Polri. Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik Polri dan Pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang
sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri ”. Sementara itu pelaksanaan tugas penyidikan oleh penyidik pegawai OJK siapa yang akan mengawasi? Sedangkan Korwas PPNS Bareskrim Polri hanya melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, sedangkan penyidik pegawai OJK bukanlah PPNS.
Dengan adanya monopoli penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan oleh OJK menjadikan lembaga otoritas ini sebagai lembaga super power karena memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan memonopoli penyidikan yang secara tidak langsung menganggap dirinya adalah lembaga penegak hukum. Tidak boleh ada lembaga negara yang merasa lebih tinggi daripada lembaga negara lainnya dengan menyerobot kewenangan lembaga lain. Penanganan tindak pidana yang tidak mematuhi ketentuan dalam KUHAP hanya akan mengakibatkan kerancuan dan ketidakpastian hukum serta menjadi faktor kriminogen (timbulnya kejahatan) dalam proses penegakan hukum itu sendiri.
Bercermin dari kinerja OJK sejak dibentuknya berdasarkan UU 21 Tahun 2011 yang sampai dengan saat ini masih menyisakan persoalan, diantaranya banyaknya kasus-kasus di industri perasuransian dan industry lainnya yang belum tuntas, sehingga infrastruktur dan sumber daya manusia harus mendukung tantangan penanganan kasus yang nantinya akan diterima, dan yang terpenting fungsi pengawasannya diperkuat sebelum pelimpahan kepada proses penyidikan oleh Tim Penyidik. Pertanyaan besar yang perlu mendapatkan perhatian, bagaimana kinerja OJK selama ini dalam penanganan kasus-kasus dugaan tindak pidana bidang perbankan ? Sebagai komparasi, seberapa banyak OJK menangani kasus-kasus Bank Umum dan BUMN ? Jangan-jangan hanya bank-bank sekelas BPR saja. Sebagaimana diketahui Bareskrim Polri banyak menangani kasus-kasus dugaan tindak pidana Bank Umum dan BUMN dibandingkan di OJK, apakah lagi-lagi menggunakan pendekatan restorative justice ?
Semoga UU P2SK dibentuk betul-betul dalam rangka mewujudkan stabilitas perekonomian negara dan penguatan sektor jasa keuangan sesuai dengan tujun utamanya yaitu dalam meningkatkan peranan intermediasi sektor keuangan, serta memperkuat resiliensi sistem keuangan nasional, sehingga dengan sektor keuangan yang inovatif, efisien, inklusif, dapat dipercaya, kuat, dan stabil akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, inklusif, dan berkesinambungan yang sangat diperlukan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya jangan sampai UU P2SK diboncengi kepentingan tertentu yang pada akhirnya meloloskan tindak pidana yang berpotensi menciptakan gangguan perekonomian nasional. Wajar menjadi perhatian semua pihak mengingat kejahatan di sektor jasa keuangan merupakan white collar crime yang cenderung berpotensi tersistem, terstruktur, dan massif sehingga harus ditangani melalui proses penyidikan yang hati-hati dan cermat dalam penegakan hukum pidana, sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku.