JAKARTA,Cobisnis.com – Praktisi migas Hadi Ismoyo menilai kolaborasi di antara semua pemangku kepentingan menjadi kunci dalam menciptakan iklim investasi hulu minyak dan gas di masa transisi energi.
Menurut dia, dengan masih akan tingginya permintaan migas, maka kolaborasi demi menciptakan iklim investasi hulu migas dengan tujuan meningkatkan produksi migas, menjadi penting dan tidak bisa ditawar.
“Kolaborasi ini sangat penting di antara semua stakeholder agar tidak kehilangan momentum,” kata Hadi dikutip Kamis, 17 November.
Menurut Hadi, salah satu wadah kolaborasi tersebut antara lain melalui gelaran 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 (IOG 2022).
Ia mengatakan, konvensi IOG harus dimanfaatkan pelaku usaha migas Tanah Air untuk berkolaborasi menghasilkan suatu gagasan atau ide baru yang konkret untuk diimplementasikan.
“Membuat regulasi yang konkret dalam bentuk permen atau kepmen yang langsung bisa ditindaklanjuti untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.
Selanjutnya, membentuk organization capability yang tajam di tingkat SKK Migas dan KKKS untuk mengerjakan dan memonitor semua langkah konkret peningkatan produksi dengan time line, budget, dan resoureces mapping-nya.
Ajang IOG 2022 akan membawakan tiga konsep besar yaitu Economic Recovery, Energy Security, dan Energy Transition, yang sejalan dengan program pemerintah yang berkelanjutan.
Dengan target peserta mencapai 10.000 peserta online dan 1.000 peserta offline, serta lebih dari 120 pembicara, maka IOG 2022 menjadi upaya mencapai target produksi minyak satu juta barel per hari dan gas 12 BSCFD pada 2030.
Hadi menambahkan, revisi UU Migas sangat penting untuk segera dibahas dan diterbitkan demi tercapainya target produksi migas tahun 2030.
Sementara itu, Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menilai, migas masih dominan untuk memenuhi kebutuhan energi sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Hingga kini, bauran EBT masih berkisar 12 persen, sementara pada 2025 targetnya 23 persen dan apabila EBT belum siap, maka migas masih diperlukan.
“Khususnya untuk transisi, kita juga sekarang masih pakai BBM transportasi dan lainnya, sehingga produksi migas masih diperlukan untuk kurangi impor dan memenuhi kilang kita,” ujarnya.
Menurut Djoko, untuk antisipasi isu lingkungan dari penggunaan energi fosil itu, maka teknologi harus digunakan untuk menekan emisi yang dihasilkan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai ada beberapa kunci untuk meningkatkan gairah iklim investasi hulu migas seperti perbaikan kebijakan fiskal, bagi hasil, keterbukaan data migas, masalah perizinan, isu transisi energi, dan paling penting adalah kepastian hukum.
“Hal ini sebenarnya menjadi inti masalah investasi migas di Indonesia yaitu revisi UU Migas yang tidak kunjung selesai. Padahal, jika kendala itu bisa dimasukkan ke dalam revisi UU Migas, maka bisa sangat menarik bagi investor termasuk posisi SKK Migas ke depannya,” jelasnya.