JAKARTA, Cobisnis.com – Pembajakan software masih paling ramai dan menempati urutan tertinggi produk yang rentan dipalsukan di Indonesia. Data tersebut berdasarkan Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia Tahun 2020 yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan atau MIAP. Survei bekerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy – Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH).
Data menunjukkan tingkat pemalsuan software hingga 84,25% dari 8 komoditi, yaitu: produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.
Barang yang sering dipalsukan berikutnya adalah kosmetik 50%, produk farmasi 40%, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38%, makanan dan minuman 20%, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15%.
Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar. “Karena itu secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp 291 triliun. Dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar serta kehilangan lebih dari 2 juta kesempatan kerja,” ujar Sekretaris Jenderal MIAP Yanne Sukmadewi dalam webinar di Jakarta (21/12/2021).
MIAP secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia 5 (lima) tahun sekali. Sejak tahun 2005, MIAP melakukan studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia, sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.
“Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas, sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat,” katanya.
Dengan kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya. “Selain data dari hasil kuesioner tersebut, kami juga menggunakan data input-output tahun 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan,” kata Peneliti IAELP UPH Henry Soelistyo Budi.
Melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan.
“Hingga saat ini baik pemerintah maupun pelaku usaha telah bahu-membahu mengurangi dampak yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kekayaan intelektual termasuk peredaran barang palsu melalui tugas dan fungsinya masing-masing,” kata
Sekretaris Jenderal MIAP Yanne Sukmadewi.