JAKARTA, COBISNIS.COM – Presiden Joko Widodo secara resmi melakukan injeksi bauksit pertama ke Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Peresmian ini menandai dimulainya operasi smelter tersebut, yang merupakan milik PT Borneo Alumina Indonesia.
Perusahaan ini merupakan hasil kerja sama antara PT Inalum dan PT Antam, yang merupakan anggota Holding BUMN Pertambangan, MIND ID.
Hendi Prio Santoso, Direktur Utama MIND ID, menyatakan bahwa pembangunan smelter ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam mengurangi ketergantungan negara terhadap impor aluminium. Dengan demikian, proyek ini diharapkan dapat meringankan beban devisa negara melalui peningkatan produksi dalam negeri.
Proyek SGAR ini memiliki peran penting dalam mengolah bauksit menjadi alumina, yang kemudian akan diproses lebih lanjut menjadi aluminium di smelter milik PT Inalum. Hal ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan mineral dan mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor.
Pembangunan smelter ini dilakukan dalam dua tahap. Hendi menjelaskan bahwa jika seluruh tahapan proyek selesai, Indonesia dapat menghemat devisa hingga 3,5 miliar dolar AS per tahun, atau setara dengan Rp 53 triliun, karena penurunan impor aluminium secara signifikan.
Dalam sambutannya yang dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Hendi juga menambahkan bahwa tahap pertama dari proyek SGAR ini memiliki kapasitas produksi sebesar 1 juta ton alumina per tahun. Tahap berikutnya, atau fase dua, akan meningkatkan total kapasitas produksi hingga 2 juta ton alumina per tahun.
Selain itu, alumina yang dihasilkan dari SGAR nantinya akan diolah lebih lanjut menjadi aluminium dengan target produksi sebesar 900.000 ton per tahun. Proses hilirisasi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk mineral dalam negeri.
Pembangunan fase pertama dari proyek SGAR ini membutuhkan investasi sebesar Rp 16 triliun. Sementara itu, untuk fase kedua, biaya investasinya diperkirakan mencapai 900 juta dolar AS atau sekitar Rp 13,65 triliun.
Menurut Hendi, biaya investasi untuk fase kedua diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan fase pertama. Hal ini disebabkan oleh efisiensi dalam pembangunan pembangkit listrik yang tidak perlu dibangun ulang, melainkan hanya perlu ditambahkan sedikit.
Dalam pengembangan proyek ini, pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif untuk mendorong hilirisasi mineral dan mendukung pengoperasian smelter bauksit. Langkah ini sejalan dengan kebijakan larangan ekspor bauksit yang bertujuan untuk memaksimalkan pengolahan sumber daya alam di dalam negeri.
Dengan beroperasinya smelter ini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan daya saing di pasar aluminium global dan memperkuat posisi sebagai produsen aluminium yang berkelanjutan.