Cobisnis.com – Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad meminta Kementerian Pertanian untuk fokus mengembangkan data mutakhir (real time) industri perunggasan. Menurut dia, dibutuhkan data yang mengatur keseimbangan supply-demand, khususnya pada bibit ayam (Day Old Chicken/DOC).
Data DOC krusial sebagai referensi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat, demi mengantisipasi kelebihan produksi DOC.
“Data dan informasi sangat penting dalam menentukan kebijakan. Seperti jumlah DOC, berapa data kandang, karkhas, parent stock. Namun informasi yang asimetris dan berdampak pada dasar pengambilan keputusan menjadi tidak tepat atau terlambat,” kata Tauhid dalam webinar, Rabu (11 November 2020).
Dari sisi permintaan dan penawaran, DOC broiler/ayam potong cenderung mengalami kelebihan produksi. Sumber ini berdasarkan data BPS tahun 2012-2016.
Hingga kini kebijakan pengaturan DOC belum efektif dilakukan karena adanya ketergantungan dari perusahaan kecil dan peternak mandiri. Sementara itu, situasi informasi pasar sulit dipastikan karena tidak didukung data mutakhir.
Harga Tertekan
Tauhid sangat mendukung hadirnya data real time dari masing-masing pelaku industri perunggasan guna mengetahui keseimbangan permintaan dan penawaran, khususnya pada DOC.
“Dampak utama dari tidak adanya data yang memadai adalah Asymmetric Information,” ujarnya.
Asymmetric Information atau ketidakjelasan informasi pasar akan memicu perilaku economic rent seeking. Informasi yang tidak linier seringkali mengakibatkan harga peternak tertekan, tetapi harga di level konsumen tetap masih tinggi.
“Terlebih untuk kasus transaksi di pasar tradisional dengan rantai distribusi yang panjang,” kata Tauhid.
Selain itu, yang juga harus tersedia adalah informasi akurat terkait tingkat konsumsi rumah tangga dan industri yang akan menyerap hasil pelaku industri.
“Karena ini juga berdampak pada tidak jelasnya mekanisme pembentukan harga di tingkat final demand,” jelasnya.
Berbagai persoalan industri unggas nasional pada akhirnya menjadikan produk domestik menjadi tidak kompetitif. Baik pada tingkat harga produksi livebirds maupun harga ayam karkas.
Data INDEF menunjukkan harga karkas ayam Indonesia Rp32 ribu masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan sesama negara berkembang seperti Turki (Rp12 ribu), Brazil (Rp16 ribu), Argentina (Rp16 ribu), Malaysia (Rp23 ribu). Bahkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat (Rp25 ribu) dan Uni Erop (Rp29 ribu).
Meski demikian, BPS mulai mengeluarkan proyeksi demand DOC sejak Januari 2020 untuk mendukung penyediaan informasi kebutuhan DOC.
Selain data, Indef juga merekomendasikan peningkatan efektivitas kebijakan dan efisiensi dalam penyediaan pakan yang berkelanjutan.
Produk yang tidak kompetitif juga dipengaruhi tingginya biaya pakan. Ini akibat ketergantungan pada gandum, sebagai bahan substitusi yang juga harus diimpor.
“Yang penting adalah dukungan penyediaan pakan karena masalah ketergantungan impor pakan ini menjadi krusial,” kata Tauhid.