JAKARTA, Cobisnis.com – Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masuk dalam daftar perusahaan yang berpotensi didepak dari perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI). Risiko delisting muncul karena saham perusahaan tersebut telah mengalami suspensi lebih dari enam bulan berturut-turut.
BEI mencatat setidaknya ada tiga perusahaan pelat merah yang masuk radar potensi delisting, yakni PT Indofarma Tbk (INAF), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Selain itu, anak usaha PT PP (Persero) Tbk, yakni PT PP Properti Tbk (PPRO), juga masuk dalam daftar.
Secara keseluruhan, terdapat 70 perusahaan yang masuk daftar potensi delisting per 30 Desember 2025. Daftar tersebut mencakup perusahaan dari berbagai sektor, mulai dari properti, tekstil, energi, hingga manufaktur.
Sejumlah nama besar industri tekstil turut masuk dalam daftar tersebut, termasuk PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT). Kondisi ini mencerminkan tekanan berat yang masih dialami sektor padat karya.
BEI menjelaskan bahwa ketentuan mengenai potensi delisting diatur dalam Peraturan Nomor I-N. Apabila suatu perusahaan tercatat mengalami suspensi perdagangan saham selama enam bulan berturut-turut, bursa wajib menyampaikan pemberitahuan kepada publik.
Pemberitahuan tersebut dilakukan melalui pengumuman resmi bursa yang menyatakan saham perusahaan berpotensi delisting. Informasi ini menjadi peringatan dini bagi investor dan pelaku pasar modal.
Kepala Divisi Peraturan dan Layanan Perusahaan Tercatat BEI, Teuku Fahmi Ariandar, menyampaikan bahwa pengumuman tersebut akan disampaikan secara berkala. Pengumuman dilakukan setiap bulan Juni dan Desember selama suspensi belum dicabut.
Langkah ini bertujuan menjaga transparansi pasar dan memberikan kepastian informasi kepada investor. Dengan begitu, risiko investasi dapat dipahami secara lebih terbuka.
Masuknya sejumlah BUMN ke dalam daftar potensi delisting juga menjadi perhatian pemerintah. Status BUMN sebagai perusahaan terbuka dinilai strategis dalam menjaga kepercayaan pasar dan stabilitas sektor keuangan.
Tekanan terhadap kinerja keuangan, restrukturisasi utang, serta tantangan operasional menjadi faktor yang memengaruhi suspensi berkepanjangan. Hal ini sekaligus mencerminkan dampak kondisi ekonomi dan iklim usaha nasional.
Ke depan, nasib perusahaan-perusahaan tersebut akan sangat bergantung pada upaya pemulihan kinerja dan pemenuhan kewajiban pasar modal. Keputusan akhir delisting berada di tangan BEI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.














