JAKARTA, Cobisnis.com – PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia optimistis pada 2025 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan mencapai 8.000 di tengah potensi perang dagang pada tahun depan.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto mengatakan, tahun ini volatilitas pasar saham Indonesia cukup besar dengan rekor tertinggi IHSG 7.905.
“Posisi itu mendekati prediksi Mirae Asset 7.915 untuk 2024, sebelum terkoreksi kembali, yang menunjukkan masih dipengaruhinya dinamika pasar oleh sentimen global dan domestik,” ujarnya dalam keterangannya, Senin, 9 Desember.
Rully menyampaikan prediksi positif pasar modal domestik tersebut terutama didukung oleh kuatnya dua faktor makroekonomi dalam negeri yaitu inflasi yang stabil dan daya beli yang terjaga.
Dia menyampaikan, selama tidak ada gangguan cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi produksi pangan harga bahan makanan akan tetap stabil di tahun depan lantaran Indonesia terus menunjukkan penurunan inflasi.
Dia menambahkan, dengan stabilnya harga bahan makanan, dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diperkirakan tidak signifikan, terutama karena bahan pokok dikecualikan dari kenaikan pajak tersebut.
Inflasi yang terkendali tersebut, Rully menyampaikan dapat memengaruhi faktor daya beli sehingga masih tetap terjaga terutama pada sektor pangan yang akan menjadi pilar utama yang menopang daya beli masyarakat.
“Kami optimistis belanja masyarakat (belanja rumah tangga) akan tetap terjaga dan tumbuh stabil pada tahun mendatang,” kata Rully.
Rully menyampaikan dengan dukungan inflasi terkendali yang diprediksi sebesar 2,8 persen pada 2025 dan faktor daya beli yang kuat memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan mencapai 5 persen dengan posisi suku bunga acuan 5,5 persen pada akhir tahun depan.
Menurutnya dengan mempertimbangkan berbagai faktor makroekonomi tersebut, pasar modal Indonesia tetap memiliki prospek yang positif pada 2025.
“Kondisi global yang penuh tantangan diharapkan dapat dihadapi dengan kebijakan yang tepat dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan,” jelasnya.
Terkait suku bunga, Rully memprediksi ruang penurunan suku bunga acuan dalam negeri (BI rate) akan lebih terbatas akibat kondisi makroekonomi global, terutama tantangan dari kebijakan ekonomi pemerintah AS yang baru.
Rully memprediksi kebijakan ekonomi AS yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking) berpotensi memicu perang dagang dengan mitra dagang utama, yang dapat mengganggu aktivitas perdagangan global.
“Selain itu, kebijakan tersebut juga diperkirakan memicu inflasi di AS dan mempersempit ruang penurunan suku bunga acuan Federal Reserve (Federal Funds Rate/FFR), yang pada akhirnya memperkuat nilai tukar dolar AS di pasar global, yang berdampak pada perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia,” tuturnya.