JAKARTA, Cobisnis.com – Rencana perubahan pajak merupakan topik yang menarik dan perhatian masyarakat luas. Karena pajak memengaruhi kehidupan seluruh masyarakat. Apalagi terkait rencana kenaikan tarif dan perluasan barang kena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Khususnya PPN sembako, pendidikan, kesehatan, asuransi, dan lainnya yang menjadi soroton masyarakat luas. Karena akan menguras isi kantong masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.
Perdebatan kenaikan tarif PPN (dari 10 persen menjadi 12 persen atau bahkan 15 persen) akan menjadi debat tanpa akhir. Alias debat kusir. Karena inti dari kebijakan ini adalah untuk mengisi kas negara yang sedang kosong dengan defisit besar.
Permasalahannya, apakah mengisi kas negara yang sedang kosong dengan PPN sudah tepat? Apa dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat,terutama yang berpendapatan rendah? Apa dampaknya terhadap kemiskinan?
Apalagi banyak pihak berpendapat bahwa kas negara kosong akibat pemberian berbagai fasilitas pajak, terutama kepada golongan masyarakat menengah atas. Seperti pengurangan pajak penjualan dan barang mewah (PPnBM). Dan berbagai pengurangan pajak lainnya sejak 2015. Dibungkus dalam paket kebijakan ekonomi. Termasuk Tax Amnesty.
Sedangkan paket kebijakan ekonomi yang sampai 16 jilid tersebut tidak menunjukkan hasil. Alias gagal. Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak. Pertumbuhan pendapatan negara malah turun. Artinya, yang terjadi adalah pemborosan kas negara akibat pengurangan pajak.
Terjadi transfer payment dari pembayar pajak melalui negara ke masyarakat penerima pengurangan pajak. Yang notabene adalah masyarakat kelas atas.
Tetapi, ironi, yang harus menanggung kegagalan kebijakan tersebut, yang harus menanggung kas negara yang kosong, masyarakat golongan bawah. Melalui kenaikan dan perluasan PPN hingga sembako dan produk pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Memang masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sangat besar menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk konsumsi bahan makanan pokok.
Rencana PPN ini sangat buruk bagi masyarakat. Karena PPN bersifat regresif. Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah membayar (persentase) pajak lebih besar. Dan, semakin rendah penghasilannya, semakin besar persentase pajak yang dibayar dari penghasilan tersebut.
Pemerintah mencoba mengatasi ketidakadilan PPN ini dengan PPN multi-tarif. Katanya, barang konsumsi untuk masyarakat berkecukupan dapat dikenakan tarif PPN lebih tinggi. Barang konsumsi untuk masyarakat berkekurangan dikenakan tarif PPN lebih rendah. Sehingga adil. Katanya berargumen.
Dicontohkan, beras bisa diklasifikasi premium, medium dan sebagainya. Di mana tarif PPN bisa berbeda-beda. Atau jenis daging, ada daging wagyu atau daging di pasar. Juga bisa dikenakan tarif PPN yang berbeda.
Solusi PPN multi-tarif seperti digambarkan di atas justru berbahaya. Menunjukkan pemerintah tidak memahami permasalahan dan konsekuensi ekonomi politik fiskal dan perpajakan.
Pertama, keadilan pajak adalah persepsi. Kalau definisi adil adalah penghasilan besar harus membayar (persentase) pajak lebih besar, maka mekanisme adil ini hanya bisa dipenuhi dengan pajak penghasilan dengan tarif progresif. Seperti sekarang juga berlaku.
Tapi mungkin belum cukup. Sedangkan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah membayar persentase pajak lebih rendah, bahkan tidak sama sekali.
Uang pajak dari pembayar pajak bisa digunakan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Membantu biaya pendidikan, biaya kesehatan, atau subsidi-subsidi lain yang diperlukan untuk meringankan biaya hidup. Agar masyarakat tidak mampu bisa hidup lebih layak dan menikmati pendidikan dan kesehatan.
Mekanisme pajak penghasilan progresif dan redistribusi pendapatan (transfer payment) merupakan instrumen utama untuk mengatasi permasalahan kesenjangan sosial.
Dengan demikian, permasalahan keadilan pajak selesai di tingkat pajak penghasilan. Sisa penghasilan setelah pajak (disposable income) digunakan untuk konsumsi. Barang konsumsi ini bisa dikenakan pajak lagi yang dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Karena keadilan pajak sudah selesai di tingkat Pajak Penghasilan, maka semua masyarakat mempunyai posisi yang sama, dan seharusnya membayar pajak yang juga sama, di tingkat pajak konsumsi: PPN.
Kalau PPN dibuat multi-tarif menurut golongan penghasilan, maka masyarakat secara langsung terbagi ke dalam kelas atau strata. Karena akan ada produk atau jasa untuk orang kaya dan orang miskin, dibedakan dengan tarif PPN.
Ada beras orang kaya dan beras orang miskin. Ada sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin. Ada rumah sakit orang kaya dan rumah sakit orang miskin. Dan seterusnya. Seperti di jaman kolonial. Sungguh tidak terbayangkan betapa kacaunya Republik ini jadinya.
PPN multi-tarif yang biasa diterapkan di beberapa negara di atur menurut golongan barang. Untuk makanan, minuman dan kebutuhan sehari-hari bisa dikenakan PPN tarif rendah. Selain itu dikenakan PPN tarif tinggi. Tapi semua orang membayar tarif PPN yang sama. Sehingga masyarakat tidak terbagi ke dalam kelas dan strata.
Semoga pemerintah tidak gagal paham mengenai PPN multi-tarif, tidak gagal paham mengenai fungsi pajak penghasilan sebagai instrumen redistribusi pendapatan untuk mengatasi kesenjangan sosial. Semoga pemerintah dan DPR membatalkan rencana perluasan PPN ini.
Penulis:
Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)