JAKARTA,Cobisnis.com – Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, menyarankan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melaporkan perihal kesulitan industri mendapatkan izin pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dari PLN. Karena menurutnya, PLN membuat proses panjang untuk pemberian izin yang sebenarnya tidak diperlukan, salah satunya adalah kajian kelayakan operasi.
“Permennya (PLTS Atap) kan sudah sudah keluar (Permen ESDM No.26/2021). Tapi, PLN masih berdalih pakai ketentuan Permen No. 49/2018. Padahal Permen ini sudah dicabut. PLN membuat proses panjang untuk pemberian izin yang sebenarnya tidak diperlukan, salah satunya adalah kajian kelayakan operasi,” katanya.
Selain urusan perizinan pemasangan PLTS atap yang sangat lambat, kata Fabby, PLN juga kerap membatasi instalasi maksimal hanya 10-15% dari total kapasitas daya listrik yang terpasang. dan ketidaktersediaan meter exim. “Intinya, PLN memang tidak mendukung PLTS Atap ini,” ucapnya.
Dia melihat kejadian ini (hambatan izin PLTS Atap dari PLN) sudah lama terjadi. Menurutnya, PLN selalu menyampaikan ada dampak ke jaringan mereka. “Tapi, ini alasan saja yang sebenarnya tidak ada. Alasan sebenarnya adalah PLN merasa PLTS Atap ini akan menggerus penjualan listrik PLN dan berpotensi menurunkan revenue dan dengan skema net metering, PLN masih harus menjual excess listrik PLTS Atap,” tukasnya.
Jadi, dia menyarankan agar Menteri ESDM melaporkan ke Presiden soal ini. Selain itu, dia juga meminta agar Menteri ESDM menyampaikan ke Kemenkeu untuk menyiapkan PMK yang berkaitan dengan pemberian kompensasi kepada PLN jika ada kerugian dari pelaksanaan Program Strategis Nasional PLTS Atap 3.6 GW seperti yang disepakati sebelumnya. “Yang terakhir, menyiapkan juklak Permen ESDM No.26/2021 ini sehingga jadi acuan PLN,” ujarnya.
AESI mencatat ada puluhan pengaduan dari kalangan industri terkait pemasangan PLTS Atap ini di berbagai daerah. Salah satunya dalah perusahaan Indo Liberty di Bogor. “Berdasarkan laporan yang masuk dari anggota-anggota kami terdapat laporan 14 pengaduan yang masuk periode November-Desember 2021. Sebanyak 79 persen kasusnya terjadi di Jawa Barat, tapi saya tidak hafal nama perusahaannya satu persatu,” katanya.
Menurutnya, adapun jenis pengaduan yang disampaikan para industri itu adalah berupa adanya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan, proses perizinan yang cukup lama lebih dari 15 hari, dan permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI tertentu.
Fabby menyayangkan perizinan yang sulit ini karena dapat berdampak langsung terhadap daya saing investasi energi bersih di Indonesia. “Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah,” ucapnya.
Merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021, menurut Fabby, pengurusan perizinan hanya membutuhkan waktu lima hari kerja.
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025. Adapun beberapa substansi dari Permen tersebut di antaranya mengenai ketentuan ekspor kWh listrik yang ditingkatkan dari 65% menjadi 100%. Kemudian kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik atau PJBL dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL).
Selanjutnya, mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap dan dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap. Lalu tersedianya pusat pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU. Kemudian, perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).