Cobisnis.com – Teknologi komunikasi modern, sebuah saja internet, media sosial, dan aplikasi seluler – telah secara signifikan mempengaruhi operasional kelompok kejahatan terorganisir yang terlibat dalam perdagangan manusia (Trafficking in Human Beings/THB).
Teknologi telah memperluas kemampuan penjahat untuk memperdagangkan manusia untuk berbagai jenis eksploitasi, termasuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja, pengambilan organ, adopsi anak secara ilegal, dan kawin paksa.
Pelaku perdagangan manusia menggunakan teknologi komunikasi yang semakin modern untuk mengeksploitasi korbannya berulang kali: mulai dari mengiklankan dan merekrut korban, hingga memeras korban dengan foto dan video untuk mengontrol pergerakannya.
Uni Eropa (UE) bersama Europol menerbitkan laporan terbaru bertajuk “Tantangan Melawan Perdagangan Manusia di Era Digital” sebagai bagian dari peringatan Hari Anti-Perdagangan Manusia UE 2020.
Dalam laporan setebal 7 halaman dinyatakan perlunya semua pihak berkolaborasi seperti mengumpulkan data dan informasi intelejen.
Mengumpulkan lebih banyak bukti digital untuk menghubungkan titik-titik antara investigasi nasional dan internasional sangat diperlukan untuk memerangi perdagangan manusia, sebagai salah satu prioritas utama UE dan Europol.
“Teknologi memberi perdagangan manusia (Trafficker) kemampuan untuk merekrut korban tanpa bertatap muka interaksi, sehingga mengurangi risiko terdeteksi oleh penegak hukum,” tulis laporan tersebut.
Media Sosial
Platform media sosial telah digunakan sebagai katalog virtual oleh penjahat untuk mengidentifikasi korban baru dan mengembangkan strategi pemantauan. Karena sejumlah besar informasi tentang latar belakang psikologis dan pribadi pengguna (misalnya tingkat pendidikan, ikatan keluarga, status ekonomi, tempat tinggal, jaringan pertemanan, dll.) sering ditampilkan di medsos (sering kali disertai gambar).
“Media sosial juga digunakan sebagai senjata psikologis, dimana pelaku perdagangan manusia mengancam akan mengunggah gambar korban yang diretas/dibobol jika gagal memenuhi tuntutan para penjahat.”
Laporan itu juga menyebut kelompok sasaran yang rentan. Mayoritas korban yang teridentifikasi dalam kasus-kasus THB melibatkan komponen online, dimana perempuan dewasa yang paling banyak dieksploitasi, khususnya kejahatan perdagangan manusia di Negara Anggota UE.
“Anak di bawah umur juga merupakan kelompok sasaran yang sangat rentan karena “kebersihan digital” anak-anak yang buruk.”
Para pelaku Trafficker online juga sangat canggih. Mereka mampu memiliki kekayaan informasi tentang anak-anak yang berpotensi rentan dan mudah diakses di internet, memungkinkan para Trafficker menjalankan taktik social engineering hingga grooming dan perundungan (bully).
“Mereka (para penjahat) dapat menjalankan strategi perekrutan berdasarkan profil online korban. Dua bentuk strategi rekrutmen online yang dapat diidentifikasi dalam konteks ini adalah: rekrutmen aktif dan pasif.”
Perekrutan aktif menyerupai teknik ‘memancing kail’ dan melibatkan penjahat, misalnya, memposting iklan pekerjaan palsu di portal pekerjaan terpercaya dan mem-blasting di pasar media sosial.
Jaringan kriminal juga membuat situs web lengkap dari agen tenaga kerja palsu, yang sering kali dipromosikan di media sosial agar mudah diakses oleh lebih banyak calon korban. Terkadang situs web ini menyertakan obrolan langsung, yang seolah-olah mengizinkan kontak langsung dengan manajer perekrutan yang diduga.
“Beberapa tahun ke depan akan menjadi sangat penting bagi semua pihak untuk mengidentifikasi dan menyetujui kerangka hukum dan teknis, yang dapat diterapkan untuk bertindak secara efektif melawan perdagangan manusia di era digital.”