Cobisnis.com – Pemerintah akan merealokasi anggaran dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), untuk mempercepat penyerapan di akhir tahun. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan realokasi tersebut akan terjadi di 6 sektor, sehingga sektor yang berpotensi tak sepenuhnya terserap, dapat dialihkan ke sektor yang membutuhkan tambahan.
Airlangga sebelumnya menyampaikan bahwa ada sedikit kekeliruan dalam penyampaian persentase penyerapan anggaran. Anggaran kesehatan misalnya, Airlangga menyebut anggaran kesehatan sudah terealisasi sebesar 33,47% atau Rp 18,45 triliun dari Rp 87,5 triliun. Padahal, jika total alokasi anggaran Rp 87,57 triliun, dengan realisasi Rp 18,45 triliun, realisasi anggaran PEN hanya terserap kurang lebih di angka 21%.
“Stimulus ini ya memang harus dirombak total, karena ada banyak sekali stimulus yang kalau saya catat ada 3 sampai 4 item stimulus PEN yang pencairannya sangat lambat dan tidak.mungkin sampai akhir tahun mencapai 100%,” ungkap Ekonom INDEF Bhima Yudistira dalam program Market Review IDX Channel, pada Selasa (22/9/2020).
Contohnya, lanjut Bhima, ada PPh 21 untuk karyawan yang ditanggung oleh pemerintah itu alokasinya besar sekali, sehingga ada Rp39 triliun hampir Rp40 triliun, tetapi penyerapannya baru 4%. Kemudian juga ada subsidi bunga untuk UMKM, itu juga tidak berjalan sesuai optimal baru kisaran 7% pencairannya, ada juga bansos sembako.
“Jadi diluar bansos sembako tulisannya logistik sembako, pangan, ini pencairannya juga sangat kecil. Padahal kita tahu, karena ada PSBB yang lebih ketat seharusnya bantuan sembako ini khususnya di Jabodetabek pencairannya sudah 80-90%,” jelasnya.
Bhima menilai bahwa ini merupakan sumber masalah desain dari anggaran yang dimana pencairannya tidak akan mencapai target. “Jadi ini ada masalah desain dari anggaran, ada yang pencairannya tidak akan mencapai target tapi tidak segera dilakukan realokasi, itu satu masalah. Kedua, ada masalah koordinasi. Banyak pejabat daerah yang gagap dengan teknologi, karena diharuskan berkoordinasi melalui virtual jadi ada yang tidak terbiasa,” imbuh Bhima.
Sambung Bhima, dan yang terakhir ini memang ada salah di pelaksanaan teknisnya yang takut ditangkap oleh KPK. “Karena merasa bahwa ada perlindungan terhadap hukum itu lebih ke arah para menteri atau level Eselon I. Sementara pelaksana teknis mereka khawatir, karena salah sedikit mengisi anggaran itu bisa masuk ke KPK, bisa menjadi tindak pidana korupsi,” pungkasnya.