JAKARTA, Cobisnis.com – Sedikitnya 33 pengunjuk rasa yang tewas dalam demonstrasi antikorupsi di Nepal bulan ini dipastikan terkena peluru tajam yang ditembakkan dari senjata berkecepatan tinggi, menurut keterangan lembaga medis yang melakukan pemeriksaan post-mortem.
Temuan ini disampaikan oleh anggota departemen forensik Tribhuvan University Institute of Medicine yang enggan disebutkan namanya karena sensitif, dan kemudian dikonfirmasi oleh juru bicara institut tersebut. Ini merupakan konfirmasi resmi pertama bahwa aparat menggunakan peluru tajam dalam kerusuhan yang menewaskan 74 orang dan melukai lebih dari dua ribu orang.
Gambar tidak terverifikasi mengenai amunisi non-karet serta korban dengan luka di kepala dan dada sempat beredar luas di media sosial setelah demonstrasi yang dipimpin generasi muda tersebut. Aksi ini bermula dari protes atas gaya hidup mewah para pejabat yang dipamerkan di media sosial, dan akhirnya berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli beserta kabinetnya.
Sejumlah tokoh protes menuding Oli dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak sebagai pihak yang memberi perintah menembakkan peluru tajam, meski tanpa bukti. Oli membantah tuduhan itu melalui unggahan Facebook pada 20 September, sementara Lekhak sebelumnya menyatakan menerima “tanggung jawab moral” sebelum mundur dari jabatannya pada 8 September.
Hasil otopsi di kampus Maharajgunj, Kathmandu, menemukan dari 34 jenazah dengan luka tembak, 10 ditembak di kepala, 18 di dada, 4 di perut, dan 2 di leher. Hanya satu korban yang terkena peluru karet. Bentuk peluru terdistorsi sehingga kaliber dan jenis senjata tidak dapat dipastikan.
Meskipun kepemilikan senjata api legal sulit di Nepal, aparat memiliki akses ke senjata berkecepatan tinggi yang biasanya tidak digunakan untuk pengendalian massa. Sementara itu, mantan PM Oli menyebut adanya penyusup yang mungkin membawa senjata otomatis yang tidak dimiliki polisi.
PBB menyerukan investigasi transparan atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan. Pemerintahan sementara yang dipimpin mantan Ketua Mahkamah Agung Sushila Karki kini telah membentuk komisi penyelidikan.














