• © Copyright 2025 Cobinis.com – All Right Reserved
Friday, December 5, 2025
Cobisnis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Ekonomi Bisnis
  • Nasional
  • Lifestyle
  • Entertaiment
  • Humaniora
  • Sport
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Foto
  • Beranda
  • Ekonomi Bisnis
  • Nasional
  • Lifestyle
  • Entertaiment
  • Humaniora
  • Sport
  • Teknologi
  • Otomotif
  • Foto
No Result
View All Result
Cobisnis
No Result
View All Result
Home Ekonomi Bisnis

Menimbang Eksperimentasi Koperasi Merah Putih

Saeful Imam by Saeful Imam
May 13, 2025
in Ekonomi Bisnis
0
Menimbang Eksperimentasi Koperasi Merah Putih

Bagus Ardeni

(Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah)

Program Koperasi Desa Merah Putih, yang diwacanakan akan diluncurkan pada Oktober 2025, dapat dibaca sebagai angin segar dalam upaya menjawab ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Secara bersamaan, ia juga merepresentasikan kehendak untuk menghidupkan kembali peran desa sebagai unit ekonomi yang mandiri dan berdaya.

Dengan target ambisius membentuk sekitar 80.000 koperasi desa serta menyertakan skema pembiayaan sebesar Rp3–5 miliar per unit, program ini tampak menjanjikan di atas kertas. Namun di balik angka-angka impresif dan jargon pemberdayaan, muncul pertanyaan mendasar: apakah desa benar-benar siap menjadi episentrum ekonomi baru? Dan lebih jauh, apakah negara sungguh-sungguh mendengar suara desa?

Koperasi dan Perdebatannya

Secara historis, koperasi bukanlah entitas asing dalam lanskap ekonomi Indonesia. Dumairy dan Tarli Nugroho, dalam Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto (2016), menjelaskan bahwa Mubyarto pernah menggalakkankoperasi sebagai perwujudan etos ekonomi kerakyatan dalam kerangka ekonomi Pancasila. Dalam pandangan Mubyarto, koperasi tidak hanya berfungsi sebagai entitas ekonomi yang mengejar efisiensi, melainkan sebagai instrumen sosial untuk membangun keadilan dan solidaritas di tengah masyarakat, khususnya di tingkat akar rumput. Hal ini tercermin, misalnya, dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang menekankan prinsip kekeluargaan dan gotong royong—nilai-nilai yang secara inheren melekat pada model koperasi dan selaras dengan tradisi kolektif masyarakat desa.

Meskipun dalam konteks tertentu koperasi dapat dianggap sebagai solusi efektif pada masanya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya kerap terjebak dalam kerangka administratif yang dangkal. Jika dikontekstualisasikan pada kondisi saat ini, Hans Antlöv dan Anna Wetterberg (2011), misalnya, mencatat bahwa proses desentralisasi di Indonesia belum sepenuhnya menghasilkan partisipasi yang substantif. Sebaliknya, desentralisasi justru kerap membuka ruang bagi dominasi baru oleh elit lokal, yang pada akhirnya menghambat penguatan kelembagaan serta mengurangi efektivitas tata kelola di tingkat desa.

Dalam konteks Koperasi Merah Putih, Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan bahwa koperasi ini dirancang sebagai respons terhadap maraknya praktik rentenir dan pinjaman online ilegal yang menjerat warga desa dalam siklus utang. Di sini, koperasi diposisikan sebagai instrumen perlindungan ekonomi masyarakat kecil. Gagasan ini mengingatkan pada pandangan Hernando de Soto (2000) dalam The Mystery of Capital, yang menilai betapa pentingnya pengakuan legal terhadap aset dan aktivitas ekonomi informal sebagai dasar bagi perluasan akses terhadap modal. Artinya, jika koperasi mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, maka perannya tidak hanya sebatas penyedia pinjaman, melainkan sebagai fondasi sistem ekonomi alternatif berbasis solidaritas sosial.

Namun, skema pembiayaan besar melalui dana desa yang disalurkan dalam bentuk pinjaman bergulir hingga Rp3-5 miliar per koperasi menghadirkan risiko yang tidak kecil. Ketika koperasi dibentuk secara top-down—seperti yang terjadi dalam pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD)—tanpa kesiapan kelembagaan dan budaya tata kelola yang sehat, potensi moral hazard akan sulit dihindari. Minimnya kapasitas pengawasan internal di tingkat desa, ditambah dengan lemahnya akuntabilitas, sering kali membuka ruang bagi penyimpangan penggunaan dana. Dalam banyak kasus, pengelolaan dana publik di desa masih dibayangi oleh pola relasi patronase serta keputusan yang lebih mencerminkan kepentingan elit lokal ketimbang kebutuhan kolektif warga.

Kekhawatiran tersebut bukanlah asumsi belaka. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2020 menunjukkan bahwa hampir 60% kasus korupsi dana desa melibatkan kepala desa dan perangkatnya (Kompas, 11/3/2025). Kondisi demikian menjadi gambaran lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas yang masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam tata kelola desa. Dalam situasi seperti ini, program koperasi desa dapat dengan mudah mengalami nasib serupa dengan berbagai program ekonomi lain yang gagal karena terlalu tergesa dan tidak kontekstual.

Keberadaan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), seperti turut disampaikan Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, juga menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Sofyani, et al., (2019) menunjukkan bahwa BUMDes dapat menjadi motor ekonomi lokal yang efektif bila dikelola secara partisipatif dan berbasis pada potensi desa. Maka dari itu, hal ini juga mengandaikan bahwa jika Koperasi Merah Putih tidak didesain secara sinergis dan komplementer dengan BUMDes, bukan tidak mungkin keduanya akan saling berbenturan secara struktural maupun fungsional, yang pada giliranny menimbulkan kebingungan di tingkat operasional.

Jika merujuk pada praktik internasional, negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa proses menjalankan koperasi perlu ditopang oleh tata kelola yang demokratis, akuntabel, serta berorientasi pada kebutuhan anggota. Seperti dicatat Johnston Birchall (2003), kekuatan koperasi terletak pada partisipasi aktif anggota dan dukungan institusional yang konsisten. Di Jepang, koperasi pertanian berkembang berkat kebijakan yang mendukung dan kultur kerja sama antar petani, sementara di Korea Selatan, penguatan koperasi ditopang oleh investasi dalam pendidikan anggota. Corak seperti inilah yang patut ditiru oleh negara kita.

Kita juga dapat belajar dari kegagalan masa lalu, terutama pada era Orde Baru saat Koperasi Unit Desa (KUD) difungsikan sebagai instrumen distribusi kebijakan, terutama pupuk dan kredit pertanian. Ketika sistem politik berubah, KUD kehilangan legitimasi karena tidak tumbuh dari bawah dan tidak memiliki akar di komunitas. Ini menguatkan tesis James C. Scott  dalam Seeing Like a State (1998), bahwa proyek pembangunan yang terlalu terpusat cenderung gagal karena mengabaikan kompleksitas lokal dan kapasitas aktor-aktor di dalamnya.

Menempatkan Warga sebagai Aktor

Agar Koperasi Merah Putih tidak terjebak pada jebakan serupa, pendekatan yang digunakan haruslah berbasis partisipasi dan pembelajaran sosial. Warga desa perlu ditempatkan sebagai aktor pembangunan, bukan sekadar penerima program. Visi koperasi harus dirumuskan bersama, yaitu dengan membuka ruang deliberatif di mana warga dapat merancang bentuk usaha, sistem pengelolaan, dan mekanisme pertanggungjawaban yang sesuai dengan konteks lokal mereka.

Pelatihan dan pendampingan barangkali dapat dilihat sebagai faktor determinan berjalannya program ini. Oleh sebabnya, pendirian koperasi tak boleh berhenti pada aspek legal-formal. Sebaliknya, ia harus diikuti dengan proses inkubasi kelembagaan. Tahapannya dapat dimulai dari pelatihan akuntansi dasar, manajemen risiko, hingga pengembangan etika bisnis. Di sinilah aktor eksternal seperti perguruan tinggi, NGO, dan pelaku usaha bisa memainkan peran penting sebagai mitra strategis desa.

Sebagai permulaan, pemerintah sebaiknya menerapkan pendekatan uji coba atau pilot project di beberapa desa terpilih dengan karakteristik berbeda. Melalui proses ini, pemerintah dapat mengevaluasi desain kelembagaan, menyesuaikan pendekatan dengan realitas lokal, dan membangun praktik baik yang dapat direplikasi. Strategi ini tidak lain merupakan upaya untuk menerapkan prinsip kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Atau dengan kata lain, kita penting untuk belajar dari pengalaman lapangan sebelum melakukan skala besar.

Alhasil, masa depan Koperasi Merah Putih akan sangat bergantung pada sejauh mana negara bersedia mengakui kapasitas desa sebagai aktor otonom dalam pembangunan. Tanpa partisipasi yang autentik, kelembagaan yang kuat, dan sistem pengawasan yang transparan, program ini bisa menjadi sekadar narasi indah tanpa makna substantif. Sebaliknya, jika dikelola dengan cermat dan visioner, Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi tonggak baru dalam membangun ekonomi kerakyatan yang adil ke depannya. Semoga saja!

Download Nulled WordPress Themes
Download WordPress Themes
Download WordPress Themes Free
Free Download WordPress Themes
free download udemy course
download lava firmware
Premium WordPress Themes Download
online free course
Tags: bagus ardenikoperasi merah putih

Related Posts

Pemerintah Dorong 80.000 Koperasi Desa dengan Pinjaman Rp3 Miliar Bunga Rendah

Pemerintah Dorong 80.000 Koperasi Desa dengan Pinjaman Rp3 Miliar Bunga Rendah

by M.Dhayfan Al-ghiffari
September 18, 2025
0

JAKARTA, Cobisnis.com – Pemerintah resmi meluncurkan program “Red and White Cooperatives” atau Koperasi Merah Putih untuk memperkuat ekonomi desa. Program...

Dukung Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, BSI Siapkan Pendampingan

Dukung Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, BSI Siapkan Pendampingan

by Farida Ratnawati
July 21, 2025
0

JAKARTA, Cobisnis.com - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) mendukung optimalisasi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) melalui program pendampingan untuk...

Kementerian Ekraf Dukung Koperasi Desa Merah Putih Buka Lapangan Kerja Sektor Ekonomi Kreatif

Kementerian Ekraf Dukung Koperasi Desa Merah Putih Buka Lapangan Kerja Sektor Ekonomi Kreatif

by Farida Ratnawati
July 10, 2025
0

JAKARTA, Cobisnis.com - Kementerian Ekonomi Kreatif (Kementerian Ekraf) bersama dengan Kementerian Koperasi (Kemenkop) menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding...

Bapanas: Koperasi Merah Putih Bisa jadi Penyedia Pangan Terjangkau

Bapanas: Koperasi Merah Putih Bisa jadi Penyedia Pangan Terjangkau

by Farida Ratnawati
May 30, 2025
0

JAKARTA, Cobisnis.com - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo mengatakan bahwa keberadaan Koperasi Desa Merah Putih dapat menjadi penyedia...

Load More
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Verrell Bramasta

Dirujak Netizen Gara-gara Outfit, Verrell Bramasta Pernah Belajar di Singapura hingga Oxford

December 5, 2025
Livin’ Fest 2025 Sambangi Bali, Bank Mandiri Dorong Pertumbuhan UMKM dan Industri Kreatif

Livin’ Fest 2025 Sambangi Bali, Bank Mandiri Dorong Pertumbuhan UMKM dan Industri Kreatif

December 5, 2025
CIMB Niaga

CIMB Niaga Perkuat Wealth Solution untuk Dampingi Nasabah Sambut 2026

December 5, 2025
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

TRIN Umumkan Kerja Sama Besar dengan Keponakan Presiden Prabowo, Ini Detailnya

December 5, 2025
BNI Gelar wondr BrightUp Cup 2025, Perkuat Sportainment dan Ekosistem Olahraga Tanah Air

BNI Gelar wondr BrightUp Cup 2025, Perkuat Sportainment dan Ekosistem Olahraga Tanah Air

December 5, 2025
Strategi Fiskal Kemenkeu Dorong Pertumbuhan Ekonomi hingga 2029

Strategi Fiskal Kemenkeu Dorong Pertumbuhan Ekonomi hingga 2029

December 5, 2025
Pesan di Balik Klaim Kemenangan Putin yang Mengenakan Seragam Kamuflase di Ukraina

Pesan di Balik Klaim Kemenangan Putin yang Mengenakan Seragam Kamuflase di Ukraina

December 5, 2025
Grand City Convex Surabaya Siap Gelar Livin’ Fest 2025 pada 11–14 Desember

Grand City Convex Surabaya Siap Gelar Livin’ Fest 2025 pada 11–14 Desember

December 5, 2025
">
  • Redaksi
  • Profil
  • Media Kit
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Cyber
  • Kontak

© Copyright 2025 Cobinis.com - All Right Reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Ekonomi & Bisnis
  • Nasional
  • Industri
  • Lifestyle
  • Humaniora
  • Kesehatan & Olahraga
  • Startup Center
  • Foto
  • Youtube

© Copyright 2025 Cobinis.com - All Right Reserved