Cobisnis.com – Aksi korporasi seperti merger dan akuisisi adalah hal yang bagus bagi perusahaan dan indsutri. Hal ini tidak lepas dari teori sekala ekonomis di mana aksi ini mampu menurunkan biaya operasional per pendapatan yang didapatkan bila dilakukan dengan tepat.
Hans Kwee, Direktur PT Anugerah Mega Investama mengatakan, industri perbankan Indonesia masih terus berkembang dan masih menjadi jantung ekonomi Indonesia. Bank menyalurkan uang ke sistem ekonomi yang berfungsi memutar roda perekonomian.
“Bagaikan jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, begitulah peran sentral bank. Bank yang baik dan sehat sangat dibutuhkan dalam sistem perekonomian,” kata Hans di Jakarta, Jumat 24 April 2020.
Bank besar, lanjut Hans, selalu lebih diuntungkan karena bank yang besar membuat masyarakat lebih percaya akibat besarnya aset dan permodalan. Kepercayaan pada bank besar tersebut membuat masayarakat bersedia menempatkan dana baik dalam bentuk tabungan maupun deposito tanpa meminta imbalan atau bunga yang tinggi. “Hal ini pada akhirnya membuat cost of fund bank menjadi rendah,” ucapnya singkat.
Bank dalam menjalankan bisnis akan menyalurkan dana pihak ketiga atau dana masyarakat ke perusahaan atau perseorangan dalam bentuk kredit atau pinjaman. “Ketika cost of fund bank rendah maka bunga kredit yang ditawarkan akan rendah dan dapat bersaing dengan bank lain. Ini membuat perusahaan dan perseorangan tertarik dan antri untuk mengambil kredit,” tutur Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Trisakti ini.
Kondisi ini, dia menegaskan, membuka peluang bank memilih peminjam atau kreditur yang baik dalam arti punya kualitas baik dan risiko gagal bayar yang rendah.
“Hal ini yang membuat Otoritas Jasa Keuangan mendorong bank-bank di Indonesia melakukan aksi merger atau akusisi agar didapatkan bank-bank yang besar dan kuat dari segi permodalan maupun ekuitas,” ungkap dia tandas.
Hans yang juga dosen Program Studi Magister Ekonomi Terapan (MET) Universitas Atma Jaya melihat aksi korporasi yang dilakukan PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) yang berkode saham BEKS ke dalam PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) yang berkode saham BJBR adalah sesuatu yang baik.
Dari data tahun lalu, Pemda Provensi Banten sebagai Pemegang Saham Pengendali Terakhir Bank Banten juga adalah pemegang saham Bank BJB sebesar 5,29%. “Hal ini tentu menguntungkan karena akan mempermudah dan mepercepat proses aksi korporasi ini,” papar dia.
Penggabungan usaha sendiri mengacu pada mekanisme merger di mana dua entitas akan bergabung menjadi satu entitas baru. Biasaya proses ini tidak akan mengganggu opersional kedua bank.
“Merger punya keuntungan karena akan meningkatkan efisiensi kedua bank. Setiap bank punya kelebihan sehingga bila digabung akan menghasilkan sinergi yang kuat. Pengabungan pasti menambah jumlah aset bank tersebut sehingga menghasilkan bank yang lebih besar. Jumlah nasabah baik deposan maupun peminjam juga meningkat,” ujarnya.
Selain itu, kata Hans, jumlah cabang utama dan cabang pembantu juga menjadi lebih banyak sehingga dapat melayani nasabah lebih banyak. “Ketika cabang berdekatan maka dapat di gabung sehingga mengurangi biaya operasional cabang. Sumber daya manusia juga meningkat dan dapat di alokasikan untuk ekpansi ke tempat lain,” kata Hans.
Lalu, biasanya akan terjadi transfer teknologi antar bank sehingga meningkatkan kualitas pelayanan kedua bank kepada nasabah.
Bila melihat domografi maka jumlah penduduk Banten di tahun 2019 adalah 12,96 juta jiwa dan Jawa Barat adalah 49,31 juta jiwa. Besarnya jumlah penduduk kedua wilayah tentu menguntungkan bagi kedua bank karena potensial nasabah yang dapat dilayani sangat besar.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) juga biasanya menjadi bank transaksi dan tempat penempatan dana oleh pemerintah daerah. “Karena itu pengabungan ini tentu meningkatkan aktifitas bisnis kedua bank karena melibatkan dua Propinsi yang besar. Melihat solidnya posisi keuangan Bank BJB tentu tidak akan mengalami masalah berarti ketika melakukan aksi korporasi ini,” ucapnya.
Tekanan yang terjadi di pasar keuangan kususnya pasar modal membuat sebagian besar bank mengalami penurunan harga. Kekawatiran perlambatan aktifitas ekonomi akibat pandemi Covid 19 membuat sebagian orang menjual saham. “Tetapi bagi sebagian orang yang paham tentu ini membuka peluang pembelian dan bila dilakukan investasi dalam jangka panjang akan sangat menguntungkan,” ujarnya.
Industri keuangan biasa dinilai dengan Price to Book Value alias PBV. Rasio ini membandingkan harga saham dengan nilai buku perlembar saham. Nilai buku perlembar saham sendiri di ambil dari Pengurangan jumlah aset dengan kewajiban perusahaan. Hal ini dikenal sebagai ekutas perusahaan.
“Data ini lalu dibagi jumlah saham beredar. Industri bank baik dari sisi aset maupun kewajiban sudah mencerminkan nilai pasar atau harga wajar,” papar dia
Memang ada beberapa aset tetap yang nilainya masih tercatat dengan nilai buku yang tidak selalu dilakukan revaluasi. Tetapi melihat hal tersebut kami melihat Bank BJB – BJBR masih punya peluang.
Berdasarkan perhitungan Hans, PBV BJBR dengan harga 910 ada di angka 0,74. Padahal dalam keadaan normal, BJBR biasa diperdagangkan pada PBV 2,28 x sampai 3,36x. Bila mengacu pada PBV 1 kali maka BJBR masih berpeluang naik ke level Rp1.236 per unit saham. “Melihat aksi koroporasi bank yang kami nilai positif membuat rekomendasi beli untuk BJBR,” imbuhnya.