JAKARTA, Cobisnis.com – Bunyi awal kalimat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD), “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, ….”. Di lain sisi, setiap daerah mempunyai teritori wilayah, terdiri dari bumi dan air beserta isinya.Kedua kalimat di atas mempunyai arti, bahwa pemilik bumi dan air beserta isinya di dalam sebuah wilayah di Indonesia adalah kabupaten dan kota, yaitu satuan terendah dari sistem pemerintah daerah Indonesia.Karena provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, dan pemilik bumi dan air adalah kabupaten dan kota, maka provinsi tidak memiliki bumi dan air beserta isinya yang terletak di dalam wilayah provinsi bersangkutan. Karena semua itu adalah milik kabupaten atau kota.Karena itu, konsekuensi logis, Indonesia yang dibagi atas daerah-daerah provinsi, juga tidak memiliki bumi dan air beserta isinya di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, nilai ekonomis bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, perintah Pasal 33 ayat (3) UUD. Tetapi, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (seluruh Indonesia).Dalam konteks ini, “dikuasai oleh negara” bukan berarti dimiliki. Yang dikuasai adalah pengelolaan dan nilai ekonomisnya. Secara fisik masih dikuasai oleh kabupaten atau kota. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hanya pemerintah kabupaten atau kota yang berhak menarik pajak daerah dan retribusi daerah di seluruh wilayah di kabupaten atau kota bersangkutan. Perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut juga harus tunduk pada sistem pemerintahan daerah bersangkutan.Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah yaitu Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk provinsi, kabupaten dan kota. Kepala Daerah bersama perangkatnya dinamakan Pemerintah Daerah. Indonesia secara keseluruhan dipimpin oleh Presiden dibantu oleh menteri, dinamakan Pemerintah Pusat.Seperti dijelaskan di atas Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) adalah pemilik bumi dan air beserta isinya yang berada di dalam wilayah Indonesia (yang dibagi atas provinsi dan kabupaten/kota). Artinya, Pemerintah Pusat bukan pemilik, dan tidak bisa menjadi pemilik, bumi dan air beserta isinya yang terletak di seluruh wilayah Indonesia.Saat ini, Pemerintah Pusat sedang dalam proses memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke sebuah wilayah yang terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Negara, di provinsi Kalimantan Timur.Untuk itu diterbitkan UU No 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Isi UU mengatakan, Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara adalah Pemerintah Daerah yang bersifat khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Negara.
Yang mengejutkan, Pemerintah Daerah ini disebut Otorita, dipimpin oleh Kepala Otorita, yang ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, tanpa proses pemilihan kepala daerah, dan tidak ada perwakilan rakyat daerah (DPRD).Luas wilayah yang diambil, tepatnya direbut atau dianeksasi, dari kedua Kabupaten di atas mencapai 256.142 hektar, untuk dijadikan wilayah ibu kota negara yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat.Dikatakan aneksasi karena pengalihan wilayah dilakukan sepihak oleh Pemerintah Pusat, tanpa proses sesuai peraturan yang berlaku terkait Pembentukan Daerah baru (pemekaran) di kabupaten dan provinsi, yang juga harus disetujui oleh DPRD.Aneksasi ini menyebabkan Pemerintah Pusat sekonyong-konyong memiliki bumi dan air beserta isinya, seluas 256.142 hektar di dalam teritori Indonesia, difasilitasi konsep Otorita. Yang mana tentu saja bertentangan dengan prinsip negara, di mana Indonesia terdiri dari daerah-daerah: bukan daerah-daerah dan otorita-otorita.Konsep Otorita selain aneksasi daerah juga merusak tatanan daerah dan pemerintah daerah, serta semua yang terkait dengan daerah: Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan lainnya.Aneksasi ini sangat bahaya bagi keberlangsungan negara kesatuan Republik Indonesia. Bayangkan apa jadinya kalau Pemerintah Pusat menjalankan konsep Otorita ini untuk mengambil alih kepemilikan wilayah seperti Kawasan Otorita Batam, Otorita Danau Toba, Otorita Labuan Bajo, dan lainnya, sehingga semua daerah tersebut menjadi milik Pemerintah Pusat.Dampak lebih fatal bisa terjadi. Bayangkan, apa jadinya kalau Pemerintah Pusat tiba-tiba membentuk Otorita untuk mengambil alih seluruh kepulauan Sumatra? Daerah Sumatra akan lenyap, beralih menjadi milik Pemerintah Pusat. Bukankah konsep Otorita ini sama saja melenyapkan Indonesia, yang terdiri atas daerah-daerah?Permasalahan ini bisa terjadi karena Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara di manipulasi menjadi aneksasi, sehingga melanggar kedaulatan daerah, dan tentu saja melanggar UUD.Arti ‘Khusus’ dalam Pemerintahan Daerah Khusus tidak bisa menghilangkan atau mengubah eksistensi daerah. Tetaoi, dalam UU tentang Ibu Kota Negara, arti ‘khusus’ menghilangkan eksistensi daerah, disulap menjadi Otorita, dengan bumi dan air beserta isinya beralih menjadi milik Pemerintah Pusat.Arti ‘khusus’ seharusnya melekat pada Pemerintah Daerah yang bersifat khusus. Misalnya, arti khusus pada Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, membolehkan Jakarta sebagai provinsi tidak mempunyai kabupaten, tetapi langsung mempunyai kota administrasi, di mana wali kotanya ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.Maka dari itu, konsep Otorita ibu kota negara merupakan konsep yang sangat bahaya, melanggar UUD, melanggar Kedaulatan Daerah, melakukan Aneksasi terhadap daerah oleh Pemerintah Pusat, bisa menyebabkan Indonesia bubar.Mengingat bahaya yang begitu besar, seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan undang-undang ibu kota negara ini dapat dituduh secara bersama-sama melakukan pelanggaran konstitusi yang sangat berat. Atau bisa juga dianggap melakukan persekongkolan yang membahayakan keberadaan negara kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, hukumannya pasti sangat berat. Biar ahli hukum yang membahas hal ini lebih lanjut.