JAKARTA,Cobisnis.com – Bank Indonesia (BI) diketahui cenderung moderat dalam menetapkan suku bunga acuan di tengah ketidakpastian global yang berlanjut saat ini.
Tercatat, sejak memberlakukan suku bunga terendah sepanjang masa 3,50 persen pada 2020 lalu, otoritas moneter hingga hari ini baru menaikkan BI rate sebesar 75 basis points (bps) menjadi 4,25 persen.
Hal ini terbilang kontras dengan langkah bank sentral AS, yakni The Federal Reserve (The Fed), yang sudah mengerek rate interest-nya sebesar 300 bps pada sepanjang 2023 menjadi 3,0-3,5 persen.
Atas kondisi itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan.
Menurut dia, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara kebijakan BI dengan The Fed.
“Kalau di Amerika inflasinya sangat tinggi dan ekonominya cukup kuat, itu kenapa sangat agresif menaikan fed fund rate,” ujarnya di sela-sela pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral anggota G20 (FMCBG) di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu 12 Oktober waktu setempat.
Untuk diketahui, inflasi di negara Paman Sam pada Agustus 2022 tercatat sebesar 8,3 persen year on year (yoy). Angka tersebut jauh di atas torehan inflasi Indonesia yang sebesar 4,69 persen di Agustus dan 5,95 persen pada September.
Asal tahu saja, sebelum pandemi pola inflasi di banyak negara maju cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia. Situasi itu terjadi lantaran negara maju lebih mengutamakan stabilitas perekonomian ketimbang emerging countries yang memerlukan pertumbuhan agresif.
Oleh karena itu, Perry menilai jiak RI tidak bisa serta merta mengikuti laju kenaikan suku bunga cepat meski tetap sejalan dengan tren global.
“Inflasi kita tidak setinggi negara lain sehingga respon suku bunganya juga tidak terlalu tinggi. Ini juga penting untuk mendorong perekonomian,” tuturnya.
Aspek lain yang dijelaskan oleh bos BI adalah pengaruh rate interest terhadap kekuatan mata uang nasional.
“Kalau di negara maju tentu saja tidak memerlukan intervensi stabilisasi nilai tukar. Tapi di Indonesia kami terus menyuarakan bahwa respon kebijakan moneter saja tidak cukup dengan suku bunga. Maka perlu juga stabilisasi untuk nilai tukar. Demikian pula untuk stabilisasi di bidang pasar keuangan,” katanya.
Untuk itu, dia terus menyatakan komitmen agar dapat terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
“Jadi secara pendekatan konsep pemikiran bagaimana merumuskan kebijakan itu sudah ada kesepakatan, yaitu perlunya ada suatu bauran kebijakan ekonomi nasional baik dari fiskal maupun moneter,” tutup Perry.