JAKARTA, Cobisnis.com – Pemilihan Umum (Pemilu) seharusnya menjadi peristiwa mulia. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox Populi, Vox Dei. Begitulah menurut pepatah kuno, pepatah yang percaya dengan pesta demokrasi. Di mana rakyat memberi hak suaranya untuk menentukan masa depan bangsa.
Dalam pemilu, rakyat memilih eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Mereka menjalankan roda pemerintahan, sebagai petugas rakyat.
Selain itu, rakyat juga memilih para wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tugas mereka mengawasi eksekutif agar roda pemerintahan berjalan sesuai hukum yang berlaku, dan berkeadilan.
Selain itu, tugas utama DPR lainnya adalah membuat undang-undang. Yaitu undang-undang yang dapat melindungi kepentingan rakyat banyak. Bukan undang-undang untuk melindungi kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang dinamakan oligarki.
DPR juga harus mengawasi dengan seksama bagaimana proses hukum dijalankan. Apakah sudah sesuai dengan asas keadilan seperti yang diwajibkan dalam Konstitusi. Atau hukum hanya membela yang punya uang? Atau hukum hanya tajam ke bawah? Atau hukum hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan?
Seperti itulah tugas wakil rakyat dan partai politik seharusnya. Membela kepentingan masyarakat luas dan menciptakan keadilan menurut konstitusi dan hukum yang berlaku.
Tugas wakil rakyat seperti itu bukan ilusi. Tetapi nyata, dan terjadi di banyak negara di belahan bumi lain. Di mana roda pemerintahan dijalankan berdasarkan supremasi hukum dan kedaulatan rakyat.
Tetapi, sayangnya terjadi tidak di Indonesia. Di mana supremasi hukum dan kedaulatan rakyat masih merupakan barang langka.
Memang terdengar memilukan. Setelah pemilu lima tahunan selesai, kepentingan rakyat sering kali dilupakan. Tidak ada pengawasan parlemen terhadap eksekutif. Bahkan mereka terlihat sangat mesra. Saling mendukung, yang bisa merugikan kepentingan masyarakat.
anyak undang-undang dibuat demi kepentingan kekuasaan eksekutif, kekuasaan parlemen, kekuasaan partai politik (parpol), serta kepentingan oligarki. Misalnya undang-undang terkait pemberantasan korupsi yang semakin dilemahkan, undang-undang ketenagakerjaan yang katanya merugikan kaum pekerja, undang-undang perindustrian, perkebunan, pertanian yang menguntungan pengusaha besar. Dan masih banyak lainnya.
Hukum juga berjalan tebang pilih, dan jauh dari berkeadilan. Lihat saja kasus penggusuran lahan yang dilakukan pengembang perumahan terhadap rakyat jelata yang lemah dan tertindas, seperti kasus di desa Bojong Koneng, Sentul.
Atau kasus peradilan yang tidak adil terhadap orang-orang tertentu. Khususnya yang mengkritisi eksekutif. Atau kasus korupsi yang masih banyak belum tuntas. Harun Masiku masih menghilang. Kasus korupsi Bansos terhenti di titik tertentu. Kasus korupsi E-KTP mandek. Padahal banyak aktor yang disebut di dalam persidangan, tetapi dianggap angin lalu. Kasus menguap.
Lihat juga rancangan undang-undang perpajakan yang sedang digodok. Di mana rakyat akan dibebani tambahan pajak pertambahan nilai. Sedangkan kriminal pajak akan diberi pengampunan (pajak), untuk kedua kalinya dalam 5 tahun. Luar biasa. Betapa besar kasih sayang para eksekutif dan anggota parlemen serta partai politik kepada para kriminal pajak.
DPR seharusnya panggil KPK, atau polisi, atau jaksa dalam kasus penegakan hukum yang tidak adil. Atau menanyakan kasus korupsi yang tidak tuntas. DPR juga bisa memanggil pengusaha yang sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, memanggil pengusaha yang mengadu domba sesama rakyat dengan menggunakan massa bayaran untuk mengkriminalisasi dan menggusur rakyat jelata.
DPR bahkan bisa merekomendasikan untuk mencabut izin usaha pengembang bersangkutan kalau bertindak di luar hukum dan sewenang-wenang terhadap rakyat. “Tetapi semua diam,” begitu kata lantunan syair sebuah lagu.
Tidak terdengar suara DPR dan suara partai politik membela kebenaran, dan membela rakyat sesuai hukum yang berlaku, yang seharusnya menjadi tugas utama para politisi tersebut. Agar masa depan bangsa menjadi lebih baik, lebih sejahtera, serta berkeadilan.
Mungkin saja ada sebagian wakil rakyat yang menyuarakan kebenaran, tetapi suara mereka tenggelam di tengah gelombang pengkhianatan terhadap suara rakyat, suara yang disamakan dengan suara Tuhan. Artinya, suara yang seharusnya sangat mulia karena sudah memilih mereka sebagai pemimpin bangsa.
Oleh karena itu, kepada seluruh rakyat Indonesia yang mulia, mari tandai mereka yang ingkar dan berkhianat terhadap suara rakyat. Mereka adalah partai politik hitam, wakil rakyat hitam, serta pejabat hitam. Semoga rakyat secara tegas memberi hukuman yang layak kepada mereka.
Dengan cara tidak memberi suara rakyat, suara Tuhan, kepada partai politik hitam dan wakil rakyat hitam. Cara ini merupakan cara mulia untuk menyelamatkan Indonesia dan menyelamatkan anak dan cucu kita di kemudian hari dari keserakahan partai politik hitam.
Penulis:
Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)