JAKARTA, Cobisnis.com – Ekonomi Thailand sedang menghadapi tantangan serius, menurut pejabat dari kantor perdana menteri (PM) Thailand pada hari Senin. Negara ini, yang dipimpin oleh PM Srettha Thavisin sejak Agustus lalu, sedang berusaha menghidupkan kembali perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara. Hal ini terjadi karena ekspor yang lemah dan pemulihan yang lambat dari pandemi Covid-19 dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
“Data menunjukkan bahwa situasinya tidak menggembirakan,” kata kepala staf perdana menteri, Prommin Lertsuridej, seperti yang dilaporkan oleh Reuters, pada hari Selasa.
Dia menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi Thailand, termasuk rendahnya pemanfaatan kapasitas industri dan peningkatan utang rumah tangga.
Menurut Prommin, penurunan suku bunga bisa menjadi solusi yang membantu rumah tangga yang mengalami kesulitan finansial dengan memberikan lebih banyak uang kepada mereka.
“Walaupun pemerintah tidak akan campur tangan dalam keputusan bank sentral,” katanya.
Perekonomian Thailand mengalami kontraksi yang tidak terduga pada kuartal keempat tahun 2023. Hal ini menyebabkan para pembuat kebijakan menurunkan perkiraan pertumbuhan untuk tahun ini, menambah tekanan pada bank sentral untuk menurunkan suku bunga, permintaan yang hampir setiap hari diajukan oleh perdana menteri.
Produksi pabrik Thailand menyusut selama 16 bulan berturut-turut pada bulan Januari, terutama di sektor otomotif. Thailand telah memberikan insentif bagi perusahaan yang beralih ke kendaraan listrik, termasuk dukungan untuk menarik perusahaan seperti Tesla.
“Kami melakukan segala yang kami bisa,” kata Prommin, merujuk pada langkah-langkah termasuk pariwisata bebas visa, kebijakan penanganan utang rumah tangga, dan dukungan untuk sektor pertanian.
“Janji kampanye untuk memberikan 10.000 baht Thailand kepada 50 juta warga untuk dihabiskan di komunitas lokal mereka masih dalam proses, dan diperkirakan akan dilaksanakan pada akhir Mei,” tambahnya.
Beberapa kritikus telah mengingatkan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah, terutama skema pembagian “dompet digital” senilai US$14 miliar, mungkin tidak efisien secara fiskal dan berpotensi menyebabkan inflasi.










