Cobisnis.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai stabilitas sektor jasa keuangan tetap dalam kondisi terjaga berkat sejumlah kebijakan yang telah dilakukan termasuk pemberian restrukturisasi kredit perbankan. Hal tersebut diamini Ekonom Indef, Aviliani, yang menyebut langkah tersebut tepat.
OJK sebelumnya memutuskan untuk memperpanjang masa pemberian relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama setahun terhitung dari Maret 2021 menjadi Maret 2022.
Dikutip dari siaran pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang sudah dikeluarkan OJK sejak Maret tahun ini, terbukti bisa menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dari tekanan ekonomi akibat dampak pandemi Covid–19.
Meski demikian, penyaluran kredit ini masih belum optimal, dan berkaitan dengan posisi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di 2020 yang sudah beberapa kali menurunkan BI rate.
“Jangan bunga dulu ya, sebenarnya problemnya gini, kalau yang namanya bank itu kalau tidak ada permintaan tidak akan mungkin bank itu pasti kredit. Karena kalau bank itu menawarkan kredit dulu nanti jadi kredit macet. Kenapa tidak ada permintaan? karena masyarakat kita daya belinya itu turun dan yang kedua adalah orang yang kelas menengah itu belum belanja banyak. Mereka masih pada tumbuhan primer bukan kebutuhan sekunder, makanya uangnya di dalam bank itu sampai 10 persen. Jarang-jarang bank itu kedaptan dana masyarakat sampai 10 persen, biasanya hanya sekitar 6 sampai 7 persen,” ungkap Ekonomi Senior Indef, Aviliani, dalam program Financial Stability Review IDX Channel, Rabu (25/11/2020).
Kalau persoalan kredit, lanjut Aviliani, Bank Indonesia sudah benar, sudah on the track dengan melakukan penurunan suku bunga acuan karena inflasi di Indonesia juga rendah. “Jadi dari sisi suku bunga itu tidak ada problem, bahkan suku bunga deposito pun sekarang sudah turun, jadi artinya dana murah,” ujarnya.
Meski pandemi Covid-19 diperkirakan masih akan berlangsung lama, sektor perbankan nyatanya sudah dikawal luar biasa sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan sudah tidak diragukan.
“Namun, untuk sektor yang keuangan non bank ini masih perlu dijaga. Kemudian, pengawasan terintegrasi yang diberikan oleh OJK ini sudah mulai dilakukan. Menurut saya ini sangat bagus, karena perusahaan atau bank yang punya multifinance atau yang punya non bank asuransi itu jadi salah satu back ball nya dari pada sektor-sektor lainnya. Sehingga dia harus bertanggung jawab nantinya, dalam terintegrasi terhadap anak-anak perusahaannya,” sebut Aviliani.
Ia juga menjelaskan bahwa langkah tersebut salah satu hal yang bagus juga supaya ada penanggung jawab ketika ada hal tidak diinginkan pada sektor keuangan khususnya yang non bank. “Jadi pengawasan terintegrasi yang dikembangkan oleh OJK merupakan salah satu hal yang juga baik,” pungkas Aviliani.
Sekadar informasi, selain relaksasi restrukturisasi kredit, OJK juga tengah menyiapkan perpanjangan beberapa stimulus lanjutan seperti pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah, Loan at Risk, dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas agunan yang diambil alih, ayda, serta penundaan implementasi basel III.
Tercatat hingga 5 Oktober 2020, realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan sebesar Rp914,65 triliun untuk 7,53 juta debitur yang terdiri dari 5,88 juta debitur UMKM senilai Rp361,98 triliun, dan 1,65 juta debitur non UMKM senilai Rp552,69 triliun.
Sementara itu, untuk restrukturisasi pembiayaan perusahaan hingga 27 Oktober sudah mencapai Rp177,66 triliun, dari 4,79 juta kontrak. Sedangkan restrukturisasi pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro dan Bank Wakaf Mikro hingga 31 Agustus masing-masing mencapai Rp26,44 miliar untuk 32 LKM, dan Rp4,52 miliar untuk 13 BWM.