Cobisnis.com – Kecemasan kembali menghantui warga di sepanjang pantai Barat Sumatera, khususnya wilayah Sumatera Barat dan beberapa daerah di Selatan pulau Jawa beberapa waktu terakhir. Hal tersebut disebabkan rangkaian gempa yang terjadi di sekitar gugusan Kepulauan Mentawai serta kembali viralnya hasil penelitian lembaga dan para ahli tentang pemodelan gempa dan tsunami yang akan terjadi ketika energi besar dilepaskan oleh pertemuan dua lempeng (megathrust) baik di sebelah barat Sumatera maupun di Selatan Jawa. Tidak tanggung-tanggung, hasil pemodelan menasbihkan kalau tinggi
gelombang tsunami yang akan terjadi melebihi 10 meter. Sudah terbayangkan seluas apa area yang akan terpapar oleh tsunami tersebut dan seberapa besar kehilangan jiwa dan kerugian harta benda yang akan diakibatkannya.
Penulis menyelesaikan S2 di Faculty of Geo-information and Earth Observation, University of Twente, Belanda, sempat kaget ketika membaca publikasi dari Majalah National Geographic edisi Indonesia April 2005 yang menetapkan Padang sebagai kota pesisir dengan populasi paling terancam bencana di dunia mengalahkan kota-kota pesisir padat lainnya seperti Manila dan Makau. Tentu saja faktor resiko dari hitungan lima belas tahun lalu itu akan jauh berkurang seiring dengan kebijakan Pemerintah dan Lembaga terkait yang telah melaksanakan upaya pengurangan resiko bencana. Namun ketika kapasitas mayarakat pesisir di Barat Sumatera dan Selatan Jawa dinilai telah jauh meningkat, ternyata masih terasa kepanikan setelah kembali viralnya hasil penelitian dan pemodelan gempa dan
tsunami oleh para ahli. Padahal sebagian besar penelitian dan pemodelan tersebut telah di rilis jauh-
jauh hari bahkan sejak gempa dan tsunami Aceh 2004 maupun paska gempa Sumatera Barat pada akhir
September 2009.
Masyarakat harus paham bahwa begitu besarnya ruang ketidakpastian dalam konteks bencana. Belum ada tools yang diterima luas secara ilmiah dapat memprediksi kapan terjadinya, serta seberapa besar gempa dan tsunami yang akan terjadi. Masyarakat akademisi dunia masih terus menganalisa dan belajar dari fenomena bencana yang sering muncul di luar ekspektasi. Contoh pertama adalah ketika terjadinya gempa ganda di Aceh pada 11 April 2012. Gempa yang juga dirasakan sangat kuat sampai wilayah
Sumatera Barat ini, menimbulkan kepanikan warga kota di pesisir Barat Sumatera dalam mengevakuasi
diri dan keluarga ke tempat lebih tinggi. Peristiwa ini mematahkan kejamakan dan teori bahwa gempa susulan akan berkekuatan jauh lebih kecil dari gempa utama. Gempa pertama yang bekekuatan 8,6 magnitudo malah diikuti dengan gempa yang berkekuatan 8,2 magnitudo hanya berselang dua jam
setelah gempa utama. Kejadian yang diluar dugaan ini tidak hanya dalam hal besarnya gempa susulan, tetapi juga menyangkut persoalan penyebab gempa. Gempa tersebut terjadi karena pergeresan sesar secara horizontal yang biasanya tidak melepaskan energi sebesar itu.
Peristiwa kedua yang dapat dijadikan perhatian adalah ketika terjadi gempa tektonik 6,1 magnitudo di Timur Laut Kota Tarakan pada 21 Desember 2015 lalu. Stereotip pulau Kalimantan yang relatif aman gempa terpatahkan oleh peristiwa tersebut. Dampaknya, peta yang digunakan dalam perencanaan ketahanan gempa untuk konstruksi bangunan direvisi oleh para ahli dan membuka kesadaran akan perlunya peta mikrozonasi gempa.
Peristiwa lain yang masih berkesan dalam ingatan kita adalah terjadinya tsunami paska gempa Palu, Selawesi Tengah, September 2018. Jagat dunia maya di riuhkan oleh pernyataan resmi dari BMKG bahwa peringatan dini tsunami telah usai, namun beberapa menit setelahnya gelombang besar
meluluhlantakkan sebagian Kota Palu termasuk Jembatan Kuning yang sangat megah dan ikonik itu. Terlepas dari keriuhan tersebut, tsunami yang menurut para ahli dipicu oleh longsoran bawah laut yang dipicu oleh gempa utama malah datang tanpa diduga setelah warga mengganggap situasi telah aman.
Kejadian yang hampir mirip terjadi ketika gelombang besar menghantam pesta tahun baru di ujung Barat pulau Jawa pada akhir tahun yang sama. Gelombang yang juga menewaskan sebagian besar personel grup band ternama tanah air ini juga datang tanpa diduga karena tidak dirasakan gempa sebelumnya. Siapa yang menyangka dua peristiwa di tahun 2018 ini akan segitu dahsyatnya bahkan BMKG sebagai institusi yang paling berwenang belum mempunyai SOP peringatan dini tsunami akibat longsor dan erupsi gunung api kala itu.
Belajar dari peristiwa-peristiwa tersebut, sudah saatnya masyarakat yang berada di daerah yang rentan terpapar bencana gempa dan tsunami dapat lebih arif menyikapi hasil penelitian dan pemodelan para ahli. Kepanikan bukanlah respon yang tepat terhadap hasil penelitian tersebut, karena peristiwa alam penuh ketidakpastian. Sehingga lebih bijak dan efektif jika hasil penelitian dan pemodelan itu digunakan dalam perumusan program-program di fase kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Di samping itu, pemangku kebijakan harus mampu menerjemahkan hasil publikasi ilmiah yang merupakan santapan kaum akademisi menjadi bahasa awam dalam kerangka program peningkatan ketahanan terhadap bencana baik dalam kontek struktural (kelembagaan) maupun non struktural
(pemahaman, softskill dan kebiasaan). Dengan program yang dilaksankan secara kontiniu, masyarakat diharapkan terbiasa dan mengetahui bagaimana harus bertindak ketika terjadi bencana.
Walaupun ditengah keterbatasan anggaran dampak dari penanggulangan pandemi COVID-19, pemerintah harus tetap memprioritaskan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan terhadap masyarakat dan komunitas tanggap bencana di daerah rawan bencana. Karena penting untuk ditanamkan bahwa respon yang paling tepat dalam menghadapi beranekaragam ketidakpastian bencana alam bukanlah kepanikan, namun dengan memahami potensi bencana yang dihadapi, terlatih dengan prosedur keselamatan dan
evakuasi, serta tidak lupa untuk berdoa dan beramal saleh sebagai bentuk ketahanan spiritual.
Penulis: HEL PEBY, ST, MT, M.Sc
PNS di Kota Bukittinggi, Pemerhati Manajemen Resiko Bencana