Cobisnis.com-Emiten Penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mencatat total utang perusahan per 1 Juli 2020 mencapai USD2,21 miliar atau setara Rp31,93 triliun atau Rp32 triliun (Rp14.450 per USD). Adapun utang tersebut terdiri dari utang usaha dan pajak senilai USD905 juta dan pinjaman bank sebesar USDp1,313 miliar.
Dilansir idxchannel.com, Dikatakan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, pinjaman bank senilai sebesar USD1,313 miliar itu terbagi atas pinjaman jangka pendek sebesar USD668 miliar dan pinjaman jangka panjang sebesar USD645 miliar.
“Saldo utang usaha dan pinjaman bank per 1 Juli 2020 totalnya USD2,2 miliar, ini terdiri dari USD905 juta operasional, pinjaman jangka pendek USD668 juta dan pinjaman jangka panjang USD645 juta. Dari USD645 juta ada pinjaman sukuk USD500 juta yang sudah kita berhasil negosiasi dan extend jadi Juni 2023,” ujar Irfan saat rapat bersama dengan Komisi VI DPR, Jakarta, seperti dilansir Okezone, Selasa (14/7/2020).
Irfan menyebut utang usaha dan pajak senilai USD905 miliar digunakan untuk operasional maskapai. Rinciannya, USD374 miliar untuk avtur, USD340 miliar untuk sewa pesawat, dan USD47 miliar untuk maintenance.
Sedangkan, USD76 miliar akan digunakan untuk kebandarudaraan, USD25 miliar untuk katering, USD14 miliar untuk administrasi dan umum, dan USD29 miliar untuk kebutuhan operasional lain-lainnya.
Saat ini, ditambahkan irfan, maskapai penerbangan pelat merah tengah mengalami kondisi keuangan yang tak baik, bahkan pendapatan perseroan turun hingga 90% akibat pandemi Covid-19.
Kendati demikian, Garuda akan mendapat dana talangan dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun dalam bentuk mandatory convertible bonds (MCB) yang diharapkan paling lambat bisa terbit pada Desember 2020 dan dana akan dikembalikan pada 2023.
“Itu jika diizinkan pemerintah. Dalam skema itu, pemerintah akan menjadi standby buyer. MCB kami usulan tenor 3 tahun, memberi kesempatan pada manajemen memperbaiki fundamental revenue dan cost perusahaan,” imbuhnya.
Dana talangan tersebut diharapkan Irfan dapat cair tahun ini. Sebab, Garuda membutuhkan dana likuiditas sebesar Rp8,5 triliun untuk menjaga operasional perusahaan karena okupansi masih rendah akibat Covid-19.
“Dana talangan yang dibutuhkan Garuda sebenarnya mencapai Rp9,5 triliun. Namun, angka Rp8,5 triliun sudah cukup karena sisa Rp1 triliun sudah dipenuhi dari fasilitas pinjaman program ekspor khusus Rp1 triliun dan sedang diproses Kemenkeu,” jelasnya.
Adapun dari total utang tersebut, Garuda sudah melihat ada gap pendapatan dan biaya yang mengharuskan perseroan untuk melakukan penundaan pembayaran atas operasional, hingga restrukturisasi atau penjadwalan utang pinjaman lainnya.