Jakarta, Cobisnis.com-Jurnalis lepas Rakan Abdelrahman yang saat ini tengah meliput pertempuran antara pasukan Israel dan Pasukan Hamas di Jalur Gaza, menceritakan bagaimana pedihnya saat ia meliput di medan pertempuran yang sedang memuncak.
Abdelrahman, saat sedang duduk di sebuah kafe mengatakan bagaimana ia harus ikut berperang dengan deadline liputan serta ancaman kematian ditengah perang yang sedang berkecamuk. selama 10 hari, pesawat-pesawat tempur Israel telah membom wilayah pesisir tanpa henti dan telah menewaskan 2.808 warga Palestina, seperempat dari mereka adalah anak-anak. Sebanyak 10.859 orang lainnya terluka akibat pemboman udara dan pada hari Senin, kementerian dalam negeri mengatakan bahwa lebih dari 1.000 jenazah warga Palestina terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh bom yang dijatukan tentara Israel.
Pekan lalu, Israel mengebom menara komunikasi di wilayah yang terkepung dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah tersebut. Tindakan tersebut merupakan bagian dari “pengepungan total” yang diterapkan Israel sebagai respons terhadap serangan mendadak pada tanggal 7 Oktober oleh pejuang Hamas terhadap pangkalan militer Israel dan di sekitar kota serta permukiman Israel di luar Jalur Gaza.
Setidaknya 1.400 warga Israel tewas dalam serangan itu. pemboman dan pengepungan telah membuat Jalur Gaza tidak memiliki akses internet atau listrik yang dapat diandalkan. Hal ini membuat pekerjaan jurnalis yang sudah berisiko dan menantang di zona perang menjadi semakin sulit.
“Karena koneksi internet yang buruk dan pemadaman listrik, kami tidak dapat melaporkan sesuatu secara real-time. Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk bekerja,” kata Abdelrahman kepada Al Jazeera, seraya menambahkan bahwa para jurnalis yang mengenakan rompi pers dan helm dengan tanda yang jelas telah menjadi sasaran. Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), setidaknya 15 jurnalis telah terbunuh di Jalur Gaza sejak 7 Oktober. “Kami tidak dapat meliput lokasi pembantaian atau bahkan mencapai tempat-tempat yang telah dibom karena takut serangan Israel lainnya akan menargetkan wilayah yang sama,” kata Abdelrahman. “Setiap detik Anda berada dalam bahaya. Rekan-rekan kami telah membayar harga dengan nyawa mereka, seperti Saeed al-Taweel, Mohammed Subh dan Hisham Alnwajha,” ujarnya.
Ketiga jurnalis tersebut terbunuh pada 10 Oktober setelah keluar untuk memfilmkan sebuah gedung di Kota Gaza yang akan dibom. Mereka semua berdiri pada jarak yang aman, ratusan meter dari sasaran gedung Hiji, namun serangan udara malah menghantam gedung lain, lebih dekat dengan mereka. Penduduk di Jalur Gaza, yang berpenduduk 2,3 juta orang lebih dari setengahnya berusia di bawah 18 tahun, ia mengatakan perang saat ini adalah yang paling ganas dari serangan-serangan sebelumnya dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya 1 juta orang telah menjadi pengungsi internal.