Cobisnis.com – Bank DBS Indonesia menyampaikan hasil survei “DBS Digital Treasurer 2020” yang menunjukkan pelaku bisnis di Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam hal kesiapan digital se Asia Pasifik. Peringkat atas ditempati Singapura (45%), Hongkong (44%), Jepang (41%), Taiwan (39%), Korea Selatan (39%), dan Thailand (32%) secara berturut-turut.
Sedangkan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris memiliki proporsi bisnis dengan strategi digital yang jelas jauh lebih besar. Perbandingannya hampir separuh bisnis di AS dan Inggris memiliki strategi yang terstruktur bila dibandingkan dengan dua dari sepuluh bisnis di Asia Pasifik.
Berdasarkan jajak pendapat tersebut yang meneliti sekitar 1.700 corporate treasurers, CEO, CFO, dan pemilik bisnis se-Asia-Pasifik (APAC), hasilnya memperlihatkan secara sisi kesiapan digital. Sekitar 26% perusahaan di Indonesia sudah memiliki strategi yang jelas atau menempati urutan ketiga di antara negara lain di Asia Tenggara setelah Singapura (45%) dan Thailand (32%).
Group Head of Institutional Banking, DBS Bank, Tan Su Shan, mengatakan peran teknologi terhadap bisnis belum pernah sekrusial seperti kini. Gejolak akibat pandemi membuat solusi digital menjadi penentu sebagian besar bisnis di dunia. “Saat memulai era ‘kenormalan berikutnya’, kita harus memetakan arah baru dan siap untuk terus berubah dan beradaptasi dengan keadaan baru,” ujar Shan hari ini di Jakarta.
Dia mengingatkan perubahan besar terjadi dalam pola konsumsi, pekerjaan, dan pariwisata akibat Covid-19. Kemungkinan besar kondisi ini tidak akan kembali seperti sebelum pandemi. “Satu dasawarsa mendatang akan menimbulkan lebih banyak perubahan jika dibandingkan dasawarsa lalu. Bisnis harus siap untuk terus bermetamorfosis tanpa henti agar dapat bertahan dan berkembang,” ujarnya.
Tantangan utama saat ini disebutnya gangguan pada rantai pasokan serta Covid-19, mendorong digitalisasi pada hampir semua bisnis di kawasan (99%) yang mengisyaratkan industri menghadapi tekanan dari luar untuk bertransformasi digital.
Faktor utama yang mendorong kebutuhan untuk berubah mulai dari perubahan pola konsumsi pelanggan serta pasar utama, persaingan, dan kompleksitas rantai pasokan yang berkembang. Di saat yang sama mereka juga berhadapan dengan tantangan dalam penerapan teknologi baru.
Ada tiga tantangan utama, yaitu kecepatan perubahan (speed of change) (80%), kerumitan pelaksanaan (execution complexity) (75%), dan kelangkaan bakat digital (lack of digital talent) (64%).
Hal ini sangat berbeda dengan AS dan Inggris, di mana sembilan dari sepuluh bisnis menyatakan bahwa tantangan utama mereka adalah tetap mampu menyesuaikan diri dengan regulatory environment. Ini menunjukkan kedua pasar tersebut memiliki akses lebih mudah ke kelompok digital talent.
Dalam hal digital spend, pengelolaan kas atau cash management (33%) dan pembiayaan rantai pasokan atau perdagangan (30%) merupakan dua bidang investasi terbesar untuk bisnis di Asia-Pasifik.
Sementara bisnis di Inggris, di mana enam dari sepuluh (60%) bisnis memusatkan investasi mereka pada perdagangan dan teknologi terkait pembiayaan rantai pasokan. Kemudian di AS, perusahaan menghabiskan sebagian besar pengeluaran untuk pelaporan risiko & kepatuhan (34%) serta solusi cash management (26%).