Cobisnis.com – Saat ini Indonesia perlu mengembalikan peran industri sebagai fondasi ekonomi nasional dengan lebih memperhatikan lagi struktur industri yang berbasis di hulu, yakni industri petrokimia berbasis methanol, sebagai salah satu produk utamanya sebagai
pemasok bahan baku untuk berbagai sektor industri lainnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan pengembangan industri kimia berbasis methanol sudah sangat mendesak dan urgen.
“Pengembangan industri methanol sangat penting untuk mendukung kemandirian industri, mendukung daya saing industri nasional serta menopang pembangunan industri berkelanjutan dan yang utama memangkas defisit neraca perdagangan yang terjadi lantaran ketergantungan tinggi pada impor,” ungkap Johnny di Jakarta, kemarin.
Menurutnya investasi di sektor petrokimia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir masih tergolong minim. Kondisi ini berdampak pada ketergantungan impor yang tinggi lantaran minimnya suplai bahan baku industri hulu petrokimia.
“Kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru mencapai 2,45 juta ton. Sementara itu, kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dengan kata lain, produksi dalam negeri baru memenuhi 47 persen kebutuhan domestik. Sisanya, yaitu sebesar 53% harus dipenuhi melalui impor,” ujar Johnny
Lebih lanjut dia mengatakan kebutuhan akan metanol semakin meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen yang kapasitas produksinya 660 ribu ton per tahun. Alhasil, ketergantungan impor methanol tergolong tinggi.
“Nilai impor methanol mencapai USD 12 miliar atau setara Rp 174 triliun per tahun. Pasalnya, metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain industri asam asetat, formaldehid, Methyl Tertier Buthyl Eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, Dimethyl Ether (DME), dan lain sebagainya,” jelas Johnny.
“Alasan lain yang mendasari strategisnya pengembangan industri methanol adalah karena beberapa produk turunannya, seperti biodiesel dan dimetil eter (DME) merupakan bahan bakar alternatif. Dengan demikian, impor minyak yang selama ini membebani neraca dagang RI bisa dikurangi melalui pengembangan industri methanol. Lebih lagi, industri methanol akan mendukung program pemerintah, yakni pengalihan dari bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel,” paparnya
Sebaliknya, johny mengatakan bila pengembangan industri methanol ditunda, sementara pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar semakin berkembang, maka ketergantung impor akan semakin tinggi.
Sejalan dengan itu, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk mulai mengoperasikan kedua unit pabrik MTBE dan B1 yang pertama kalinya ada di Indonesia sekaligus mendukung target pemerintah Indonesia untuk menyubstitusi impor melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang diusung oleh Kementerian Perindustrian. Konstruksi kedua pabrik berhasil diselesaikan sesuai jadwal walaupun di tengah masa pandemi.
Presiden Direktur Chandra Asri Erwin Ciputra mengatakan prioritas utama perseroan adalah mendukung pemerintah dan industri dalam negeri dalam mengurangi ketergantungan impor.
Dengan beroperasinya pabrik baru ini, perseroan berharap tujuan pemerintah mengurangi impor sampai 35 persen pada 2022 dapat tercapai.
Konstruksi pabrik MTBE dan B1 milik Chandra Asri ini dilakukan oleh Toyo Engineering Corporation dan PT Inti Karya Persada Tehnik sejak 2018.
“Kami menyampaikan terimakasih kepada Toyo dan IKPT karena berhasil menyelesaikan konstruksi ini semasa pandemi, sehingga operasional pabrik dapat dimulai sesuai rencana kami,” katanya.
Erwin menambahkan kedua pabrik ini juga merupakan pabrik pertama di Indonesia yang menggunakan Lummus Technology, salah satu teknologi processing pabrik petrokimia paling mutakhir di dunia.
Adapun, pabrik MTBE (Methyl Tert-butyl Ether) berkapasitas 128 KTA untuk memasok kebutuhan octane booster dalam negeri yang sampai saat ini masih diimpor, sedangkan pabrik B1 (Butene 1) berkapasitas 43 KTA akan diserap untuk kebutuhan operasional pabrik Chandra Asri sebesar 33 KTA, dengan sisanya ditargetkan untuk pasar domestik.
Di tempat berbeda Direktur Industri Kimia Hulu Fridy Juwono mengapresiasi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk yang sudah mulai mengoperasikan kedua unit pabrik MTBE dan B1.
“Kami dari pihak pemerintah, sangat mengapresiasi PT Chandra Asri, kita harap dengan pengoperasian pabrik tersebut bisa mengurangi impor yang saat ini cukup besar,” ungkap Fridy.
Lebih lanjut dia mengatakan, pemerintah terus mendorong industri-industri prioritas untuk mengganti peran impor. Kemudian Kemenperin pun mencanangkan peta jalan untuk pengembangan sektor petrokimia nasional, yakni Indonesia’s Chemical 4.0.
Terhitung mulai 2021, Indonesia akan mengurangi ketergantungan impor kimia dasar dalam 3-5 tahun setelahnya. Hal itu diwujudkan melalui peningkatan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk mendukung pengembangan Indutri hilir.
Efisiensi melalui teknologi menjadi salah satu kunci dari tahap pengembangan ini. Di samping itu, penguatan produksi serat sintetis pun direalisasikan pada periode ini guna mendukung industri tekstil.
Tiga produk yang menjadi fokus pada periode ini adalah ethylene, propylene, dan butadiene. Pada tahap ini target pengurangan impor hingga 30% bisa direalisasikan.
Kedua, pada 2025 mulai fokus pada peningkatan produksi kimia perantara. Periode pengembangan dilakukan dalam 5–10 tahun dengan tetap melanjutkan pertumbuhan produksi serat sintetis.
Penguatan produk kimia perantara, seperti resin sintetis, karet sintetis dan fiber sintetis, yang menjadi bahan baku industri lain menjadi prioritas pada periode ini. Di samping itu, peta jalan ini mendorong peningkatan kemampuan dalam negeri untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar.
Ketiga, peta jalan itu akan dilanjutkan dengan mengarahkan Indonesia untuk menjadi pemimpin di sektor petrokimia atau leading bio specialty chemical hub. Indonesia akan berfokus pada produk bioplastic, biofuel, dan biocomposite sehingga bisa masuk dalam jajaran lima besar produsen produk tersebut