JAKARTA, Cobisnis.com – Ekonom Prof Anthony Budiawan memprediksi ekonomi tahun 2022 akan suram. Akibatnya pertumbuhan ekonomi melambat, dan krisis ekonomi akan menanti. Apalagi pandemi Covid-19 juga telah menghancurkan ekonomi Indonesia, terutama ekonomi rakyat kecil.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan sejenisnya mengakibatkan dampak negatif secara langsung terhadap pendapatan masyarakat khususnya yang bergantung pada penghasilan harian.
“Untuk mengatasi terpuruknya ekonomi agar jangan terlalu dalam, pemerintah di seluruh dunia memberlakukan kebijakan stimulus ekonomi baik stimulus fiskal maupun stimulus moneter secara agresif,” ujar Prof Anthony Budiawan kepada Harian Terbit, Rabu (29/12/2021).
Managing Director Political Economy and Policy Studies ini menyebut, untuk mengatasi terpuruknya ekonom, Bank Sentral terkemuka dunia juga menurunkan suku bunga acuan hingga (mendekati) nol persen. Masih belum cukup, mereka juga memberlakukan Quantitative Easing atau QE sejak Maret 2020 untuk membanjiri likuiditas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
“Dampak kebijakan stimulus moneter dengan Quantitative Easing membuat harga komoditas naik tajam sejak April 2020,” jelasnya.
Harga minyak mentah dunia naik 150 persen selama periode April 2020 hingga Desember 2020, dan melonjak 333 persen selama periode April 2020 hingga September 2021. Harga batubara naik 50 persen dan 158 persen untuk kedua periode tersebut. Akibatnya, inflasi global 2021 meningkat tajam.
Inflasi Harga Konsumen Amerika Serikat pada November 2021 tercatat 6,8 persen dibandingkan setahun yang lalu. Inflasi biaya produksi, atau yang dikenal dengan Producer Price Index, melonjak hampir 9 persen secara tahunan pada November 2021. Bahkan inflasi global 2021 meningkat tajam.
Inflasi Harga Konsumen Amerika Serikat pada November 2021 tercatat 6,8 persen dibandingkan setahun yang lalu. Inflasi biaya produksi, atau yang dikenal dengan Producer Price Index, melonjak hampir 9 persen secara tahunan pada November 2021. Bahkan inflasi biaya produksi di China tercatat lebih tinggi lagi, mencapai hampir 14 persen.
“Inflasi tinggi ini menghambat proses pemulihan ekonomi yang memang belum pulih sepenuhnya dari krisis pandemi. Inflasi akan mengurangi daya beli masyarakat, dan mengurangi permintaan. Kalau terus berlanjut, inflasi tinggi ini bisa menyeret ekonomi global masuk ke dalam resesi lagi,” jelasnya.
Untuk mengatasi inflasi dan ancaman resesi, lanjut Anthony, otoritas moneter global akan segera menghentikan kebijakan moneter longgar, dengan menghentikan QE dan menaikkan suku bunga acuan. Koreksi kebijakan moneter ini akan membuat harga komoditas turun. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia sangat buruk.
$Kenaikan suku bunga global memaksa Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga acuan. Suku bunga kredit akan naik, menekan konsumsi masyarakat dan investasi. Ekonomi akan kontraksi,” tandasnya.
Kemudian, lanjut Anthony, penurunan harga komoditas akan menekan ekspor dan neraca perdagangan, membuat defisit neraca transaksi berjalan membengkak, membuat nilai tukar rupiah tertekan dan terdepresiasi, membuat harga barang impor menjadi lebih mahal. Penurunan harga komoditas akan menekan penerimaan negara, mungkin memicu krisis anggaran (fiscal).
“Defisit anggaran akan membengkak. Belanja negara akan kontraksi, dan ekonomi juga ikut kontraksi,” paparnya.
“Semua itu membuat prospek ekonomi Indonesia sangat suram. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan pajak pertambahan
“Inflasi tinggi ini menghambat proses pemulihan ekonomi yang memang belum pulih sepenuhnya dari krisis pandemi. Inflasi akan mengurangi daya beli masyarakat, dan mengurangi permintaan. Kalau terus berlanjut, inflasi tinggi ini bisa menyeret ekonomi global masuk ke dalam resesi lagi,” jelasnya.
Untuk mengatasi inflasi dan ancaman resesi, lanjut Anthony, otoritas moneter global akan segera menghentikan kebijakan moneter longgar, dengan menghentikan QE dan menaikkan suku bunga acuan. Koreksi kebijakan moneter ini akan membuat harga komoditas turun. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia sangat buruk.
$Kenaikan suku bunga global memaksa Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga acuan. Suku bunga kredit akan naik, menekan konsumsi masyarakat dan investasi. Ekonomi akan kontraksi,” tandasnya.
Kemudian, lanjut Anthony, penurunan harga komoditas akan menekan ekspor dan neraca perdagangan, membuat defisit neraca transaksi berjalan membengkak, membuat nilai tukar rupiah tertekan dan terdepresiasi, membuat harga barang impor menjadi lebih mahal. Penurunan harga komoditas akan menekan penerimaan negara, mungkin memicu krisis anggaran (fiscal).
“Defisit anggaran akan membengkak. Belanja negara akan kontraksi, dan ekonomi juga ikut kontraksi,” paparnya.
“Semua itu membuat prospek ekonomi Indonesia sangat suram. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) per April 2022. Sembako dikenakan PPN 11 persen. Cukai rokok juga naik 12 persen. Membuat ekonomi semakin terpuruk dan mempercepat kontraksi,” tambahnya.
Makin Parah
Anthony menilai, situasi semakin kritis apabila pandemi covid-19 tidak dapat segera diatasi. Kerusakan ekonomi akan semakin parah. Yang terkena dampak terburuk adalah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, alias masyarakat miskin dan hampir miskin. Mereka umumnya tidak mempunyai tabungan. Tingkat Kemiskinan meningkat.
“Kondisi ekonomi di atas juga akan membuat sektor usaha mikro dan kecil terpuruk. Semoga pemerintah dapat memberi bantuan jaring pengaman sosial untuk menyangga ekonomi rakyat kecil agar tidak terpuruk lebih dalam,” tandasnya.