JAKARTA, Cobisnis.com – Di tengah pandemi Covid-19, PT Pertamina (Persero) terus menjalankan agenda transisi energi sebagaimana fokus perhatian para Pemimpin Dunia pada pertemuan COP26 di Glasgow, awal November 2021 lalu. Para pemimpin dunia menyampaikan pentingnya tindakan nyata dan serius yang bisa diimplementasikan serta target perencanaan yang kredibel dalam rangka mengatasi perubahan iklim.
Dalam Pertamina Energy Webinar (PEW) 2021 yang digelar secara virtual mengangkat tema Energizing Your Future, Vice President Pertamina Energy Institute (PEI), Dr Hery Haerudin mengemukakan saat ini suhu bumi sudah mencapai 1,2oC dan diprediksi akan mencapai 1,5oC pada tahun 2050. Menurutnya langkah yang telah dilakukan para pemimpin dunia dan negara-negara saat ini belum cukup untuk bisa memenuhi target pengurangan emisi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak luar biasa pada lingkungan, seperti naiknya CO2 di atmosfer, pergeseran curah hujan, permukaan air laut yang naik, dan berbagai macam hal yang lebih ekstrim seperti banjir dan gelombang panas.
“Oleh karena itu kita memerlukan rencana atau pandangan ke depan yang komprehensif yang bisa kita gunakan untuk mengatasi bagaimana pemanasan global ini tidak tidak melewati 1,5oC yang tidak kita inginkan dan menjaga agar perubahan iklim ini dapat diminimalisasi,” ujar Hery.
Untuk menjawab tantangan dan target tersebut, Pertamina Energy Institute telah melakukan academic challenge melalui Pertamina Energy Outlook 2060 (PEO) yang menunjukkan tiga skenario yang dapat dilakukan industri energi di Indonesia, di mana skenario tersebut disusun dari sudut pandang transisi energi ke depan. Melalui PEO ini, Pertamina dapat membuat perencanaan yang kokoh untuk menjawab keberlangsungan usaha dan memprediksi kebutuhan jangka panjang. Bahkan masyarakat pun dapat turut serta mengambil peran dalam mewujudkan capaian Indonesia ke depannya dan melakukan mitigasi risiko yang akan timbul.
Hery Haerudin mengungkapkan bahwa untuk penyusunan energi outlook dan memprediksi kebutuhan energi jangka panjang, yang perlu pertimbangkan yakni kondisi ekonomi dan masyarakat penggunanya. Dalam proyeksi jangka pendek, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai 3,63% dan tahun depan diperkirakan sekitar 4,55%. Tetapi untuk jangka panjang pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan mengalami penurunan hingga di sekitar 2% pada tahun 2060. Penurunan ini terjadi sebagai akibat melambatnya pertumbuhan tingkat produktivitas dan konsumsi yang sejalan dengan laju peningkatan populasi.
“Pertamina Energy Institute telah menyampaikan 3 (tiga) skenario yaitu Low Transition, Market Driven_dan Green Transition. Pada ketiga scenario tersebut, PEI telah mengakomodasi semua potensi bisnis seperti kendaraan listrik, pemanfaatan biofuel, elektrifikasi baik di sektor industri maupun rumah tangga, pemanfaatan energi terbarukan, pemanfaatan hydrogen dan juga energi lainnya,” ungkapnya.
Menurutnya, berdasarkan karakteristik pada masing-masing skenario akan menghasilkan emisi maupun kebutuhan energi yang berbeda. Pada skenario Low Transition emisi akan mengalami puncak pada tahun 2060 dan puncak permintaan minyak pada tahun 2047. Sedangkan pada skenario Market Driven, emisi energi akan mencapai puncak pada 2045 dan puncak permintaan minyak pada tahun 2043. Adapun pada skenario Green Transition emisi akan mencapai puncak pada 2030 dan puncak permintaan minyak terjadi pada tahun 2028.
“Pemerintah Indonesia sudah mengumumkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat lagi. Bagaimana hal ini bisa direalisasikan? Berdasarkan trajectory, scenario yang dapat mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060 adalah skenario green transition,” ucap Hery.
Dalam trajectory ini emisi akan mencapai puncak pada 2030 sebesar 670 juta ton CO2e dan akan mengalami penurunan terus hingga ke 270 juta ton di 2060. Maka dengan melihat trajectory ini di tahun 2060 akan dibutuhkan carbon sink untuk penyerapan karbon dari sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Land Used) sebesar 270 juta ton, agar kita dapat mencapai NZE. Hal ini menandakan bahwa pentingnya Nature Based Solution (NBS) pada pencapaian NZE. Penyerapan karbon sebenarnya tidak harus selalu mengandalkan sektor kehutanan dapat juga menggunakan penyerapan karbon lainnya seperti CCS atau CCUS namun sampai saat ini biaya yang relatif mahal, dan perhitungan pasti berapa nilai karbon yang dapat terserap merupakan kendala penerapan teknologi ini secara massif.
Agar target NZE ini bisa tercapai, kata Hery, diperlukan kerja sama yang solid antara Pemerintah, pengusaha dan berbagai sektor di masyarakat dan juga sektor energi. Di Indonesia, terlihat bahwa emisi dari sektor transportasi dan pembangkit listrik dan industri yang paling besar menyumbang emisi, baik di low transition maupun market driven. Industri menghasilkan emisi untuk kebutuhan produksi dan pengolahan. Perubahan kearah industri yang low emission, pasti akan memerlukan penyesuaian dari teknologi dan lainnya. Jika dilihat di sektor pembangkit listrik dan transportasi, maka dari kedua sektor ini Indonesia memiliki ruang yang besar untuk menurunkan emisi karbon secara massif, dengan peningkatan penetrasi pembangkit listrik sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) serta penetrasi penggunaan kendaraan listrik.
“Berdasarkan kondisi tersebut, maka penurunan emisi karbon akan sangat ditentukan oleh kedua sektor utama ini, dari sektor transportasi dan pembangkit listrik. Penetrasi kendaraan listrik sangat penting sebagai faktor utama dalam pengurangan emisi pada sektor transportasi. Sehingga dengan penggunaan Electric Vehicle (EV), maka sektor transportasi diharapkan akan menyumbang emisi seminimal mungkin. Demikian juga pembangkit listrik EBT, akan mendorong netralitas di sektor tersebut,” imbuhnya.
Pada skenario green transition, energi primer yang paling banyak terdampak penurunannya saat transisi dijalankan adalah minyak dan batubara, karena adanya peningkatan elektrifikasi. Bahkan pada tahun 2060, gas lebih banyak digunakan untuk sektor industri sebagai bahan baku (feed stock). EBT akan meningkat terus signifikan, sampai meningkat 71% di tahun 2050. Dan pada tahun 2060, terjadi perubahan besar, di mana energi fosil hanya tersisa 18% sementara EBT mencapai 82%.
“Dari semua energi primer, gas merupakan bahan bakar fosil yang penggunaannya paling persisten untuk jangka panjang, dibandingkan minyak dan batubara. Ada potensi di masa depan dengan tingginya kebutuhan akan gas ini, produksi gas yang dihasilkan di dalam negeri tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan,” tambahnya.
Lalu, Hery menambahkan di masa depan elektrifikasi akan menyentuh seluruh sendi kehidupan dan menjadi norma baru. Semua sektor akan menggunakan listrik untuk kebutuhan sehari-hari, jumlah kendaraan listrik akan terus meningkat. Dalam skenario energy transition, di tahun 2060, diprediksi hampir semua kendaraan yang beredar di jalanan adalah kendaraan listrik. Begitu pula dengan kompor listrik, karena penggunaannya didorong oleh kebijakan konversi/elektrifikasi. Di sektor industri, listrik juga akan semakin banyak digunakan untuk menurunkan emisi karbon.
Untuk mencapai karbon netral pada sektor pembangkit listrik terdapat variasi dari skenario karbon netral pada 2060, baik menggunakan 100% energi terbarukan atau kombinasi antara energi terbarukan dan energi fosil yang dilengkapi dengan CCS/CCUS. Semua skenario sampai saat ini masih memungkinkan karena setiap skenario mempunyai ketergantungan terhadap suatu teknologi. Disamping itu, terdapat potensi kenaikan harga listrik dari setiap skenario yang dipilih. Untuk itu, beberapa hal dibutuhkan untuk menjaga dampak positif sosial ekonomi yaitu insentif baik fiscal dan non fiscal, akses ke pendanaan yang murah dan kredibel, serta pengembangan masif sistem kelistrikan yang andal.
Terkait kesepakatan COP26, kata Hery, Indonesia sudah memiliki regulasi yakni Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang meliputi Tax basis dan market basis dan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 yang memuat perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, pajak karbon, dan mekanisme lainnya.
Untuk mensukseskan energy transition di Indonesia, Pertamina Energy Outlook merekomendasikan perlunya lembaga level nasional yang memiliki fungsi khusus untuk mengkolaborasikan seluruh pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pengembangan ekosistem transisi energi juga memerlukan kebijakan, perencanaan, identifikasi proyek yang potensial, dan juga termasuk infrastruktur dan industri yang mendukung. Kemudian, pengembangan pasar karbon dan penentuan harga karbon yang memberikan dampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi.
Selain itu, teknologi baru juga perlu segera dikomersialisasikan dalam skala ekonomi dan masif. Misalnya low carbon hydrogen dan penggunaan CCS/CCUS sepanjang telah memenuhi nilai keekonomian. Pengkajian mengenai potensi jumlah dan kualitas sumber daya energi EBT perlu dilakukan, untuk mendukung pencapaian penurunan emisi. Hal lain yang perlu dilakukan yakni, peningkatan kapabilitas dalam melakukan MRV, pengawasan pasar, dan menyediakan infrastruktur perdagangan karbon yang liquid untuk bisa memenuhi target NZE sekaligus me-monitize peluang perdagangan karbon internasional.
Sektor swasta juga perlu menyusun roadmap yang jelas dalam melakukan transisi energi dan pengalokasian serta perencanaan keuangan yang baik dalam mengeksekusi proyek-proyek yang bertujuan kepada transisi energi.
Yang pasti, kata Hery, energi transisi akan memerlukan pendanaan yang besar, dan tidak bisa diperoleh hanya dari sumber dana dalam negeri tapi juga memerlukan bantuan luar negeri melalui program yang ada dan disepakati.
“_Benefit carbon tax_ harus dimanfaatkan untuk program mitigasi dan adaptasi iklim seperti pemanfaatan EBT, pembukaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan mengurangi dampak bencana, serta ketahanan energi dan pangan,”pungkas Hery.