JAKARTA,Cobisnis.com – Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 telah tersangkut kasus gagal bayar dengan total kerugian kurang lebih Rp 13 triliun. Sempat akan membayar klaim pada tahun 2020 lalu, namun kembali tertunda entah kenapa.
Bumiputera merencanakan pembayaran klaim yang akan dilakukan dalam dua tahap, yakni mulai Februari 2023 dan tahap kedua dilakukan pada Februari 2024. Klaim ini seolah menjadi hal yang sangat dinanti. Sementara itu, OJK belum menerima hasil Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) dari pihak Bumiputera.
Penyelesaian permasalahan AJB Bumiputera 1912 dalam kondisi buntu dan Vacuum Of Power, satu-satunya hanya menggunakan Penetapan Pengelola Statuter. Namun regulator yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) enggan menggunakan kewenangannya sebagaimana diberikan oleh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Pengelola statuter adalah pihak yang ditunjuk oleh otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
Penanganan AJB Bumiputera 1912 harus cepat dan mendesak serta tidak dapat lagi ditunda, sesuai ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (4) POJK No. 41/POJK.05/2015 tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter Pada Lembaga Jasa Keuangan. Kemudian Peraturan OJK No. 44/POJK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan OJK No. 41/POJK.05/2015 tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan yang ditetapkan pada tanggal 27 Desember 2019.
Dalam POJK tersebut berbunyi “bahwa mengingat pengelola statuter memiliki wewenang dan fungsi sebagai direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah lembaga jasa keuangan, pengelola statuter harus memenuhi kriteria persyaratan yang harus dipenuhi oleh direksi, dewan komisaris, dan/atau dewan pengawas syariah lembaga jasa keuangan.”
Otoritas Jasa Keuangan seharusnya menjalankan kewenangannya yang diberikan undang-undang berupa penetapan pengelola statuter (PS) seperti yang dilakukan OJK sebelumnya. Tujuannya bukan menjadi pelaksana namun memberi payung hukum pembentukan RUA, direksi dan komisaris baru.
OJK harus tegas dan berani menerbitkan kebijakan dengan mengusulkan penetapan Pengelola Statuter terhadap AJB Bumiputera 1912. Hal tersebut guna menjaga wibawa pemerintah melalui pembentukan lembaga OJK melalui UU 21 Tahun 2011 juga guna memberikan kepastian hukum dan jaminan kepentingan ribuan Pemegang Polis serta sektor Jasa Keuangan.
Kenapa OJK tidak menggunakan kewenangan bentuk Pengelola Statuter? Untuk apa diatur dalam UU bila tidak digunakan?
Dalam Rangka Perlindungan Konsumen LJK, OJK berwenang membentuk Pengelola Statuter (PS). Hal ini diatur lagi pada UU No 4 Tahun 2022 tentang P2SK, sebelumnya telah juga diatur dalam ketentuan beberapa UU lainnya. Kemudian pada UU No 4 Tahun 2023 tentang P2SK bab VI Perasuransian. Beberapa ketentuan dalam UU No 40 tahun 2014 tentang Persuransian diubah. Kaitan Pengelola Statuter di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A (UU No 40/2014).
(1) Dalam menetapkan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai Pengelola Statuter.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Kemudian ketentuan pada Pasal 64 diubah sehingga berbunyi: Pasal (1) “Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, pemsahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.”
Tentang PS sendiri diatur selain di UU No. 4/2023 Tentang P2SK, juga UU No 21/2011 tentang OJK, dan UU No 40/2014 dan UU No. 2/1992 Perusahaan Perasuransian, bahkan sudah ada POJK.