JAKARTA, Cobisnis.com – Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, kembali mengandalkan strategi lama di tengah meningkatnya krisis multidimensi dan munculnya gelombang protes di berbagai kota. Di tengah tekanan ekonomi, ketidakpuasan sosial, serta ancaman eksternal, pemimpin berusia 86 tahun yang dilaporkan sakit itu memilih bersikap menunggu dan menghindari keputusan besar.
Tanda-tanda pembangkangan sipil semakin terlihat di ruang publik Iran. Awal Desember, ratusan perempuan mengikuti lomba lari maraton di Pulau Kish tanpa mengenakan hijab sesuai aturan ketat negara. Mereka mengabaikan arahan pemerintah, meski pelanggaran busana di Iran dapat berujung denda besar hingga hukuman penjara.
Pada Oktober lalu, sebuah band memainkan lagu “Seven Nation Army” di jalanan Teheran dan memicu kerumunan yang bergoyang, momen yang viral di media sosial dan bahkan dibagikan ulang oleh Jack White, gitaris band The White Stripes. Pekan ini, para pedagang dan pemilik toko turun ke jalan di sejumlah kota Iran, meneriakkan slogan anti-rezim akibat kesulitan ekonomi setelah nilai mata uang rial anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah.
Aksi-aksi tersebut merupakan protes terbesar sejak gelombang demonstrasi nasional 2022 yang dipicu kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi. Meski masih terbatas, rangkaian protes ini mencerminkan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat yang secara perlahan merebut kembali ruang publik dan kebebasan pribadi melalui tindakan-tindakan pembangkangan yang tidak terkoordinasi.
Di dalam negeri, Iran menghadapi krisis ekonomi parah, inflasi tinggi, pemadaman listrik berkepanjangan, pengangguran melonjak, serta krisis air terburuk dalam lebih dari 40 tahun yang melanda 20 provinsi. Bahkan Presiden Masoud Pezeshkian sempat mengusulkan wacana evakuasi warga Teheran untuk mengurangi tekanan terhadap pasokan air yang menipis.
Di luar negeri, tekanan juga meningkat. Israel terus melobi Amerika Serikat untuk mengambil langkah militer lebih lanjut terhadap Iran. Jaringan proksi militan Iran di kawasan melemah akibat serangan Israel yang hampir setiap hari, sementara pengaruh regional Tehran terpukul setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah tahun lalu.
Dengan pilihan yang kian terbatas, Khamenei disebut memilih menunda keputusan besar karena setiap opsi dinilai memiliki risiko besar. Para analis menilai kepemimpinan Iran tampak stagnan, tanpa arah kebijakan baru yang jelas. Di saat yang sama, masa depan Iran semakin dipertanyakan mengingat usia dan kondisi kesehatan sang pemimpin tertinggi, serta ketidakpastian mengenai siapa yang akan menjadi penerusnya kelak.














