Cobisnis.com – Ekonom menilai pelemahan tajam nilai tukar rupiah dalam waktu cepat merupakan indikator prakrisis ekonomi yang lebih parah dibandingkan 2008. Pelemahan pun tak menutup kemungkinan ke atas 16.500 per dolar AS. Mengapa?
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada Kamis 19 Maret 2020, nilai tukar rupiah melemah ke 15.712 per dolar AS atau melemah 489 poin (3,11%) dari posisi kemarin di angka 15.223 per dolar AS.
Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, tidak bisa ditutupi lagi bahwa kondisi ekonomi di Tanah Air semakin memburuk. “Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang bergerak dalam tempo yang cepat menjadi indikator pra-krisis ekonomi,” katanya di Jakarta, Kamis 19 Maret 2020.
Bahkan dia memperkirakan, krisis ekonomi saat ini akan lebih parah dibandingkan tahun 2008. “Saya tidak mau menutup-nutupi lagi, bahwa amunisi bank sentral untuk meredam pelemahan rupiah makin terbatas. Hal ini bisa terlihat dari rasio cadangan devisa Indonesia yang kecil dibandingkan negara lainnya,” papar Bhima.
Lebih jauh dia menjelaskan, perbandingan cadangan devisa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut data CEIC per 2019 adalah 10,9% dan trennya terus mengalami penurunan.
Coba bandingkan dengan rasio cadangan devisa terhadap PDB Malaysia sebesar 27,2%, Thailand 39,4%, dan Filipina 21,7%. “Artinya dibandingkan negara lain di Asean, Indonesia paling kecil amunisi bank sentral untuk menjaga stabilitas kurs rupiah,” ucapnya tandas.
Bima menyarankan kepada seluruh pengusaha baik skala menengah-besar maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk bersiap menghadapi situasi yang terburuk. “Pelemahan kurs rupiah akan berjalan, dan tidak menutup kemungkinan berada di atas 16.500,” ungkap Bhima. “Situasi yang belum pernah dialami Indonesia sejak merdeka.”
Dengan krisis ekonomi, kata dia, perusahaan harus melakukan langkah-langkah penghematan anggaran, mulai mengurangi ktergantungan pembiayaan valas, serta mengubah strategi ekspansi menjadi lebih berhati-hati.
Sementara itu, imbas lockdown Malaysia lebih berpengaruh ke sisi psikologis. Sebab, menurut Bhima, ada tekanan bagi pemerintah di Indonesia untuk meniru langkah Malaysia. “Jika kita begitu saja latah, maka dipastikan krisis ekonomi akibat lockdown lebih parah,” pungkas Bima.