JAKARTA, Cobisnis.com – Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan tiga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sebagai upaya mendorong industri jasa keuangan khususnya perbankan lebih efisien, berdaya saing, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat dan berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan ketiga POJK ini diterbitkan untuk menyesuaikan kebutuhan seiring kondisi dinamika global, perubahan landscape dan ekosistem perbankan. Hal ini juga untuk menjawab tantangan dan tuntutan pesatnya perkembangan teknologi informasi, sehingga diperlukan penerapan pola pengaturan berbasis prinsip (principle based) agar peraturan dapat lebih fleksibel (agile) dan mengantisipasi perubahan ke depan (forward looking) serta menjadi acuan yang menjaga kesinambungan operasi industri perbankan.
Tiga POJK itu adalah POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No. 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, dan POJK No. 14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No. 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
Penerbitan POJK Bank Umum dan POJK Penyelenggaraan Produk Bank menekankan pentingnya akselerasi transformasi digital yang dapat menjadi insentif bagi bank dalam mendorong inovasi produk perbankan sehingga dapat mencapai level skala ekonomi yang lebih tinggi, dan menjadi panduan dalam pengembangan industri perbankan, khususnya aspek kelembagaan.
“Demikian pula penyelenggaraan produk bank umum diharapkan semakin inovatif dan dinamis memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk aspek perlindungan konsumen. Sementara POJK mengenai penilaian kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya yang ditujukan untuk menjaga agar LJK senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan,” kata Wimboh.
POJK No. 12/POJK.03/2021
Substansi pengaturan dalam POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum lebih dititikberatkan kepada penguatan aturan kelembagaan mulai dari persyaratan pendirian bank baru dan aspek operasional, mencakup antara lain penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank, jaringan kantor, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital ataupun pendirian bank digital, sampai dengan pengakhiran usaha.
“Pandemi telah mendorong transformasi digital di sektor perbankan menjadi suatu
keniscayaan. Kondisi demikian mengharuskan perbankan untuk menempatkan transformasi digital sebagai prioritas dan sebagai salah satu strategi dalam upaya peningkatan daya saing bank. Dengan demikian, POJK ini akan mendorong percepatan transformasi digital sektor perbankan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana.
POJK tentang Bank Umum ini juga mempertegas pengertian Bank Digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking.
“Dalam aturan ini, OJK memperjelas definisi Bank Digital. Namun demikian, OJK tidak mendikotomikan antara bank yang telah memiliki layanan digital, bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank). Bagaimanapun bank tetaplah bank, bank is bank,” kata Heru.
Heru juga menegaskan bahwa ketentuan di POJK ini sama sekali tidak memberikan tambahan beban pengaturan baru kepada bank, namun justru memberikan payung pengaturan bagi bank dalam melakukan transformasi dan akselerasi digital, penyederhanaan dan efisiensi jaringan kantor, serta memberikan kesempatan bagi bank khususnya bank berbadan hukum Indonesia untuk saling bersinergi dalam rangka peningkatan efisiensi dan perluasan layanan.
Dalam mendukung dan mempertegas konsolidasi perbankan sesuai yang dicanangkan OJK sejak tahun lalu, ketentuan mengenai sinergi perbankan dalam POJK Bank Umum ini bertujuan untuk mendukung efisiensi dan optimalisasi sumber daya bank dan lembaga jasa keuangan lain dalam kelompok usaha bank (KUB). Harapannya, konsolidasi perbankan dengan membentuk KUB dapat menjadi pilihan yang menguntungkan bagi bank, termasuk bank yang masih belum memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun.
Penguatan aturan kelembagaan antara lain juga dilakukan dengan peningkatan persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru, baik dengan model bisnis bank tradisional, ataupun pendirian bank yang full digital. Selanjutnya, untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien, dalam POJK ini telah dilakukan redefinisi pengelompokan bank.
POJK No. 13/POJK.03/2021
POJK tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum menitikberatkan pada penguatan dalam perizinan dan penyelenggaraan produk bank dari semula menggunakan pendekatan modal inti (capital-based approval) menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approval).
Aturan ini juga menyasar aspek akselerasi transformasi digital yang memberikan ruang kepada bank untuk lebih inovatif dalam menerbitkan produk dan layanan digital tanpa mengabaikan aspek prudensial. Digitalisasi produk dan layanan perbankan ini selanjutnya diharapkan dapat mendukung efisiensi ekonomi dan inklusi keuangan.
POJK ini mengatur mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, hingga penghentian produk bank. POJK ini juga memberi ruang inovasi bagi bank umum untuk memenuhi tuntutan dan ekspektasi masyarakat akan produk bank sesuai dengan kebutuhannya (customer centric).
Upaya yang dilakukan OJK untuk percepatan proses perizinan produk bank, baik melalui penyederhanaan klasifikasi produk (dasar dan lanjutan) serta termasuk penyelenggaraannya antara lain melalui piloting review dan instant approval, semata untuk mendorong pengembangan inovasi produk dan layanan bank.
Dengan pendekatan perizinan baru ini, menciptakan level of playing field yang sama dalam industri perbankan, membuka ruang inovasi dalam pemanfaatan teknologi informasi, dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung time to market produk bank yang lebih cepat, sehingga bank tetap dapat memiliki daya saing yang tinggi di tengah maraknya shadow banking berbasis IT.
Semangat penyederhanaan serta percepatan perizinan produk dan layanan bank umum telah sejalan dengan semangat Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi bank untuk berinovasi tanpa mengesampingkan aspek manajemen risiko. Oleh karena itu, industri perbankan diharapkan dapat menjadi lebih dewasa dalam menentukan eksposur risiko dan keamanan dari produk bank yang akan diterbitkan sebagai wujud perlindungan kepada nasabahnya.
POJK No. 14/POJK.03/2021
POJK ini berlaku untuk sektor perbankan, industri keuangan nonbank dan pasar modal, yang merupakan amandemen dari POJK existing mengenai Penilaian Kembali bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK) sebagaimana diatur dalam POJK No. 34/POJK.03/2018.
Amandemen tersebut dititikberatkan untuk lebih memperkuat upaya penanganan permasalahan LJK melalui penambahan cakupan permasalahan serta upaya dalam percepatan penanganan permasalahan sehingga LJK senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, antara lain mencakup aspek integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan atau kompetensi.
Sejumlah penambahan ketentuannya antara lain:
Cakupan penilaian kembali Pihak Utama (Pengendali, Pengurus, Pejabat Eksekutif) termasuk sanksi larangan Tidak Lulus.
Percepatan proses dalam tahapan Penilaian Kembali Pihak Utama dan permintaan tanggapan dari Pihak Utama dapat kurang dari 10 hari kerja.
Pihak Utama yang tidak lulus dalam penilaian kembali diperlakukan sebagai pihak terkait sesuai aturan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) dan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan (BMPP)