JAKARTA, Cobisnis.com – Saat ini, ada beberapa faktor katalis positif yang terus mendukung obligasi pemerintah di Indonesia, seperti dijelaskan dalam laporan IDR Rates: “Burden-sharing” a positive for IndoGB.
Hal ini termasuk berkurangnya ketidakpastian besaran ‘supply’ dengan berkurangnya jumlah obligasi yang akan diterbitkan di 2021, pengaturan “burden-sharing” dengan Bank Indonesia untuk tahun 2022 tahun 2021 ini berjalan secara aktif, kelebihan likuiditas domestik, dan faktor eksternal menguntungkan, yaitu suku bunga di AS yang berada di level rendah.
DBS Group Research menjelaskan, perkembangan-perkembangan tersebut mengakibatkan lelang obligasi mingguan dengan jumlah yang lebih kecil, yaitu Rp21 triliun pada minggu ini bila dibandingkan dengan Rp30 triliuj hingga Rp33 triliun pada awal tahun.
Pemerintah juga menerbitkan Us$$1,23 miliar dari obligasi global bertenor 10 tahun dan 40 tahun, dimana sebagian dari dana tersebut digunakan untuk melakukan pembelian kembali obligasi pemerintah seri yang lain di pasar.
“Selain memanfaatkan suku bunga rendah pada saat ini, upaya penggalangan dana tersebut juga bertujuan memperpanjang jatuh tempo obligasi dengan suku bunga yang lebih rendah saat ini,” tulis DBS dikutip Selasa (21/9/2021).
Selain itu, proses ‘tender offer’ untuk membeli kembali delapan obligasi yang akan jatuh tempo di 2022-2026 berlangsung hingga 17 September.
Secara bersamaan, pemerintah juga menerbitkan obligasi global dengan tema ‘sustainability’ senilai EUR500 juta, dengan periode jatuh tempo pada 2034, dimana peruntukkan dana ini akan disalurkan ke program-program dengan komitmen keberlanjutan/’sustainable’.
Di sisi lain yaitu di sisi permintaan, pajak penghasilan atas bunga obligasi untuk investor domestik diturunkan menjadi 10%, setara dengan tarif yang dinikmati investor asing, dalam upaya menarik lebih banyak minat ke instrumen obligasi.
Imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun saat ini berada di rentang tingkat terendah pada tahun ini, yaitu di kisaran 6,05%-6,15%.
Risiko melesetnya fiskal akan dapat diatasi karena defisit fiskal Januari-Juli mencapai Rp336 triliun, atau sekitar ~2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan pencapaian pendapatan sebesar 59% dan realisasi pengeluaran 50% dari target yang dianggarkan selama setahun.
Pencairan paket pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai 48% pada akhir Agustus, secara keseluruhan meningkatkan kemungkinan untuk menjaga target defisit 2021 sebesar -5,8% dari PDB.
Terakhir, rekor surplus perdagangan, yang tinggi, 4,7 miliar dolar pada Agustus, akan menjadi pendorong bagi rupiah, mengingat peningkatan penghitungan transaksi berjalan pada bulan tersebut.
Ekspor diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas global, meningkat 64% secara tahunan (minyak & gas 78%, pertambangan 163%), di mana angka pertumbuhan tahunan yang diakibatkan dari basis angka yang rendah.
Selain itu, penurunan jumlah penderita Covid harian hingga <10% dari puncaknya juga diperkirakan memungkinkan pelonggaran bertahap pembatasan pergerakan.
“Kami tetap memiliki pandangan konstruktif terhadap obligasi rupiah, dengan tetap mencermati situasi perkembangan Covid, dan juga akan memperhatikan pernyataan dari beberapa lembaga pemeringkat terkait rencana pembiayaan defisit baru-baru ini, dan keadaan keuangan global (terutama tingkat suku bunga AS dan kurs dolar AS), mengingat terjadinya US tapering (pengurangan nilai pembelian aset oleh Bank Sentral AS) sudah semakin dekat,” tambah DBS.