JAKARTA, Cobisnis.com – Meski harga bahan pokok terus merangkak naik sepanjang 2025, harga gorengan di banyak daerah masih bisa bertahan di kisaran Rp2.000 hingga Rp3.000 per potong. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pedagang kecil beradaptasi di tengah tekanan biaya produksi tanpa membuat konsumen lari.
Gorengan masih menjadi makanan rakyat paling terjangkau di Indonesia. Dari tahu isi, pisang goreng, bakwan, hingga tempe mendoan, semuanya tetap hadir di etalase pedagang kaki lima dengan harga yang relatif stabil. Namun di balik harga yang “ramah kantong”, ada strategi ekonomi mikro yang dijalankan secara cermat oleh pelaku usaha kecil.
Para pedagang menyadari bahwa gorengan punya nilai psikologis di mata pembeli. Naik sedikit saja bisa membuat konsumen menahan diri. Karena itu, mereka lebih memilih menyesuaikan ukuran dan bahan ketimbang menaikkan harga. Strategi ini membuat harga tetap terlihat murah meski nilai sebenarnya sudah berubah.
Ukuran gorengan kini memang cenderung lebih kecil. Potongan tahu tak sebesar dulu, bakwan lebih tipis, dan pisang goreng sering dibelah dua. Dalam dunia ekonomi, langkah ini disebut shrinkflation, yaitu harga tetap, tapi ukuran atau kualitas menurun. Tujuannya agar pedagang bisa tetap bersaing tanpa mengorbankan omzet.
Selain itu, pedagang juga beralih ke bahan baku alternatif yang lebih hemat. Minyak curah menggantikan minyak kemasan, tepung terigu dicampur dengan tapioka, dan sayur isi diganti dengan bahan lokal yang lebih murah. Dengan efisiensi seperti ini, biaya produksi bisa ditekan tanpa mengubah rasa secara drastis.
Beberapa pedagang bahkan rela memangkas margin keuntungan. Untung per potong mungkin hanya ratusan rupiah, tapi penjualan bisa mencapai ratusan potong per hari. Prinsip “untung sedikit tapi sering” jadi pegangan utama agar arus kas tetap lancar dan bisnis tetap hidup.
Ada pula strategi cross-subsidy, di mana pedagang menyeimbangkan keuntungan dari produk lain. Misalnya, gorengan dijual murah untuk menarik pelanggan, tapi minuman seperti es teh atau kopi sachet dijual dengan margin lebih tinggi. Dengan cara ini, total keuntungan tetap stabil.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi bahan makanan pada kuartal ketiga 2025 mencapai 3,1% secara tahunan. Kenaikan ini menekan pedagang kecil, terutama yang bergantung pada bahan pokok impor. Namun, ketahanan harga gorengan membuktikan fleksibilitas sektor informal dalam menjaga daya beli masyarakat.
Kondisi ini juga menjadi bukti kuat bahwa ekonomi rakyat tetap menjadi penopang konsumsi harian. Ketika harga pangan global fluktuatif, pelaku usaha mikro tetap mampu menyesuaikan diri dengan realitas pasar lokal tanpa menimbulkan gejolak harga di tingkat konsumen.
Fenomena harga gorengan yang masih tergolong murah di 2025 menggambarkan semangat bertahan hidup dan kreativitas ekonomi rakyat. Di tengah tekanan inflasi, pedagang kecil tetap menjaga keseimbangan antara biaya, rasa, dan loyalitas pelanggan kombinasi yang menjadikan gorengan tak lekang oleh waktu.














