Cobisnis.com – Menteri Perdagangan kesepuluh negara ASEAN dan mitranya, yakni Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan China menandatangani Perjanjian
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) secara virtual, Minggu (15 November 2020).
“Penandatanganan RCEP hari ini merupakan pencapaian tersendiri bagi Indonesia di kancah perdagangan internasional. Kita patut berbangga karena RCEP lahir atas gagasan Indonesia pada 2011 dan proses perundingannya hingga selesai sepenuhnya dipimpin salah satu putra terbaik Indonesia,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam siaran pers, Minggu (15 November 2020).
RCEP, kata Mendag, merupakan kesepakatan perdagangan regional terbesar di dunia dan diharapkan dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi dunia dari resesi global terparah sejak perang dunia kedua ini.
RCEP menjadi perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika ditinjau dari cakupan dunia untuk total Produk Domestik Bruto (PDB) (30,2 persen); investasi asing langsung (FDI) (29,8 persen); penduduk (29,6 persen); dan perdagangan (27,4 persen) yang
sedikit di bawah EU-27 (29,8 persen).
Gagasan RCEP dicetuskan saat Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011 dengan tujuan mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitra dagangnya. Konsep RCEP kemudian disepakati negara anggota ASEAN pada akhir 2011 di Bali, Indonesia.
Baru pada akhir 2012 setelah “menjual” konsep ini kepada enam negara mitra FTA ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan dari 16 negara pun sepakat meluncurkan perundingan RCEP pada 12 November 2012 di Phnom Penh, Kamboja.
Awal 2013, Menteri Perdagangan ASEAN sepakat menunjuk Indonesia sebagai Koordinator ASEAN untuk Perundingan RCEP. Kesepakatan ini diperluas oleh 16 menteri negara peserta perundingan dengan menunjuk Indonesia sebagai Ketua Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiating Committee/TNC) RCEP.
Pada perundingan pertama di tahun 2013, pertemuan TNC dihadiri tidak lebih dari 80 orang anggota delegasi dari 16 negara peserta. Mulai akhir tahun ketiga jumlah anggota delegasi yang terlibat langsung perundingan terus meningkat.
Puncaknya terjadi di tahun 2017—2018, di mana Ketua TNC memberikan arahan dan target pencapaian kepada lebih dari 800 anggota delegasi yang terbagi ke dalam berbagai kelompok kerja dan sub-kelompok kerja.
Perundingan RCEP berlangsung bukan tanpa kendala. Mendag Agus mengungkapkan, perbedaan
tingkat kesiapan ekonomi negara peserta RCEP memberikan tantangan tersendiri karena ambisi dan
sensitivitas yang berbeda antara negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang membuat perundingan kerap memanas.
“Dalam situasi seperti itu, dituntut pemahaman isu secara mendalam, penguasaan seni berunding secara plurilateral, kesabaran, dan bahkan sense of humor dari Ketua TNC yang mampu mempertahankan jalannya perundingan secara produktif. Praktis selama lebih dari delapan tahun
berunding, tidak satu kali pun ada negara yang melakukan walk-out dari perundingan,” ujar Mendag Agus.
Regional Power House
Perjanjian RCEP dapat dikatakan sangat komprehensif, meskipun tidak selengkap dan sedalam perjanjian regional lainnya, seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP).
Pengamat ekonomi dari Hinrich Foundation, Stephen Olson, menyatakan, dalam beberapa tahun ke depan rantai nilai (value chain) akan cenderung lebih pendek, memanfaatkan kedekatan geografis, dan menghindari rantai nilai lintas samudra.
Dalam konteks ini, RCEP yang secara geografis menyatukan Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru akan lebih cepat tumbuh dan menguat
dibandingkan CP-TPP atau Perjanjian Trans-Atlantik yang sementara ini dihentikan perundingannya.
RCEP akan mendorong Indonesia lebih jauh ke dalam rantai pasok global (global supply chain) memanfaatkan Backward Linkage, yakni memenuhi kebutuhan bahan baku atau bahan penolong yang lebih kompetitif dari negara RCEP lainnya; dan Forward Linkage, yakni dengan memasok bahan baku atau bahan penolong ke negara RCEP lainnya.
Mendag Agus yakin hal tersebut akan mengubah RCEP menjadi sebuah ‘regional power house’.
“Indonesia harus memanfaatkan arah perkembangan ini dengan segera memperbaiki iklim investasi, mewujudkan kemudahan lalu-lintas barang dan jasa, meningkatkan daya saing infrastruktur dan suprastruktur ekonomi, dan terus mengamati serta merespons tren konsumen
dunia,” jelas Mendag Agus.