JAKARTA, Cobisnis.com – Krisis iklim semakin nyata dampaknya terhadap ekonomi dunia, termasuk perdagangan internasional. Perubahan cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan bencana alam berulang diperkirakan akan memengaruhi arus barang, komoditas, serta daya saing antarnegara.
Produksi pangan global menjadi sektor yang paling rentan. Negara eksportir utama gandum, kopi, dan beras mulai menghadapi risiko gagal panen akibat kekeringan panjang maupun banjir besar. Hal ini dapat menggeser peta perdagangan pangan, di mana negara dengan iklim lebih stabil berpotensi menggantikan peran tradisional eksportir lama.
Selain pangan, sektor logistik dan rantai pasok global juga berisiko. Jalur perdagangan laut yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor impor bisa terganggu akibat badai, kebakaran hutan, hingga banjir di kawasan pelabuhan strategis. Biaya distribusi diprediksi meningkat signifikan seiring risiko tersebut.
Di sisi regulasi, Uni Eropa mulai menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) sebagai instrumen pajak karbon bagi produk impor yang tidak ramah lingkungan. Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa perdagangan masa depan akan lebih ketat terkait standar emisi karbon.
Negara eksportir di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang masih mengandalkan produk berbasis energi fosil berpotensi mengalami tekanan. Produk seperti baja, semen, minyak sawit, hingga batu bara bisa menghadapi hambatan baru dalam menembus pasar internasional.
Sebaliknya, negara dengan kapasitas energi terbarukan besar akan memiliki peluang baru. Indonesia, misalnya, memiliki potensi energi surya, angin, dan panas bumi yang bisa mendukung ekspor produk hijau seperti baterai kendaraan listrik maupun green hydrogen.
China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sudah bergerak cepat dengan memperkuat industri teknologi hijau. Dominasi ketiga kawasan ini diperkirakan akan menggeser pusat perdagangan global menuju sektor ramah lingkungan, termasuk panel surya, kendaraan listrik, hingga sistem penyimpanan energi.
Namun, transformasi ini bukan tanpa tantangan. Negara berkembang menghadapi dilema antara menjaga pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor sumber daya alam dengan kebutuhan transisi menuju perdagangan hijau yang lebih berkelanjutan.
Tekanan pasar global akan semakin memaksa negara-negara untuk beradaptasi. Perusahaan multinasional pun dituntut menata ulang rantai pasok agar lebih tahan terhadap gangguan iklim sekaligus sesuai standar lingkungan internasional.
Dalam jangka panjang, krisis iklim diprediksi akan menciptakan sistem perdagangan internasional yang lebih selektif. Hanya negara yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan yang akan tetap kompetitif di pasar global.














