JAKARTA, COBISNIS.COM – Kelas menengah di Indonesia memiliki posisi unik dalam struktur sosial, berada di antara kelompok miskin dan kelas atas.
Mereka tidak sekaya pemilik modal, tetapi hidup dalam kecukupan. Meskipun ada banyak laporan dan studi tentang kelas menengah, parameter untuk mendefinisikan kelas ini sangat bervariasi.
Estimasi jumlah mereka berkisar antara 30 juta hingga ratusan juta orang, bergantung pada kriteria yang digunakan.
Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2010 mendefinisikan kelas menengah Indonesia berdasarkan pengeluaran harian sebesar US$2 hingga US$20. Berdasarkan kriteria tersebut, sebanyak 46,58% atau 102,7 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong dalam kelas menengah.
Sementara itu, laporan Global Wealth Report (2015) menggunakan standar kekayaan Amerika Serikat, yaitu memiliki aset senilai US$50.000 hingga US$500.000. Dengan kriteria ini, hanya 4,4% penduduk Indonesia yang termasuk kelas menengah.
Bank Dunia, dalam laporan “Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” (2020), mendefinisikan kelas menengah berdasarkan tingkat economic security, yaitu mereka yang terbebas dari risiko kemiskinan dengan kemungkinan kurang dari 10%.
Kelas ini juga mampu membeli barang di luar kebutuhan dasar, seperti hiburan, kendaraan, dan asuransi kesehatan. Menurut Bank Dunia, pendekatan ini lebih relevan karena disesuaikan dengan kondisi ekonomi lokal.
Rodrigo A. Chaves, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, menyatakan bahwa kelas menengah di Indonesia terus tumbuh. Lebih dari 50 tahun yang lalu, Indonesia adalah salah satu negara termiskin di dunia.
Namun, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,6% per tahun, Indonesia telah mencapai status middle-income. Chaves menambahkan bahwa kelas menengah memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bank Dunia memperkirakan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 52 juta orang, atau sekitar satu dari lima penduduk. Kelas ini terus berkembang dengan pertumbuhan tahunan mencapai 10%, meskipun masih lebih lambat dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Cina, dan Vietnam. Namun, batas pengeluaran bulanan minimal Rp1,2 juta dinilai cukup rendah, bahkan di bawah upah minimum provinsi di Jawa Tengah.
Sebagian besar kelas menengah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan ekonomi. Sekitar 90% dari mereka menghabiskan kurang dari US$20 per hari, dan hanya 1% yang mengeluarkan lebih dari US$38 per hari atau Rp6 juta per bulan. Porsi terbesar pengeluaran mereka adalah untuk kebutuhan pangan, yang mencapai 44%, meskipun 20% dari mereka mampu membeli kendaraan pribadi.
Meski demikian, menjadi bagian dari kelas menengah tidak berarti sepenuhnya terbebas dari masalah. Sebagian besar kelas ini masih kesulitan dalam mengakses sanitasi yang layak, air bersih, serta kualitas hunian yang memadai. Bank Dunia mencatat bahwa hanya 11% dari kelas menengah yang kebutuhan non-moneternya terpenuhi dengan baik.
Bank Dunia mengidentifikasi lima kelas konsumsi di Indonesia, yaitu kelas miskin, rentan, aspiring middle class (AMC), kelas menengah, dan kelas atas. Kelas miskin memiliki pendapatan di bawah Rp354 ribu per bulan, sementara kelas rentan berada di antara Rp354 ribu hingga Rp532 ribu. AMC, yang merupakan kelas sebelum kelas menengah, memiliki pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan.
Sebagian besar penduduk Indonesia masih berada di kategori miskin, rentan, dan AMC. Sekitar 35% penduduk Indonesia masih terjebak dalam kemiskinan, sementara 45% tergolong AMC, kelompok yang bebas dari kemiskinan namun belum mencapai economic security. Hanya sekitar 25% dari AMC yang berhasil naik ke kelas menengah dalam dua dekade terakhir, sementara 44% dari kelas miskin mampu mencapai AMC.
Kesulitan AMC untuk naik ke kelas menengah disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kejadian-kejadian tak terduga yang mengikis sumber daya rumah tangga. Bencana alam, kehilangan pekerjaan, atau masalah kesehatan dapat mengurangi pendapatan dan membuat mereka rentan jatuh ke bawah. Oleh karena itu, Bank Dunia menekankan pentingnya sistem proteksi sosial yang komprehensif, seperti asuransi hari tua dan pensiun.
Sistem BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang sudah ada di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Program ini harus lebih berkelanjutan dalam jangka panjang dan dapat mengakomodasi pekerja informal dan formal. Selain itu, kualitas layanan BPJS perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
Bank Dunia juga mengkritik alokasi anggaran kesehatan Indonesia yang dinilai masih rendah dibandingkan negara-negara lain dengan pendapatan serupa. Akibatnya, fasilitas kesehatan seringkali mengalami masalah, seperti staf yang tidak memadai, keterbatasan alat, hingga overkapasitas pasien. Menurut Vivi Alatas, pemimpin proyek laporan Bank Dunia ini, komitmen pemerintah untuk meningkatkan layanan publik, termasuk kualitas pendidikan dan kesehatan, sangat penting untuk memperbesar kelas menengah di Indonesia.