JAKARTA, COBISNIS.COM – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyangkal bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh menjadi penyebab kerugian PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA).
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, menegaskan bahwa investasi WIKA pada proyek Whoosh masih dalam tahap awal dan belum menghasilkan keuntungan. Ia menyatakan bahwa kerugian hanya terjadi jika proyek Whoosh dibatalkan.
Arya menjelaskan bahwa dalam setiap investasi, awalnya memang membutuhkan biaya tanpa langsung menghasilkan keuntungan.
Ia memberi contoh bahwa membangun rumah pada tahun pertama tidak langsung menghasilkan keuntungan. Arya menekankan bahwa proyek Whoosh tidak menyumbang kerugian jika berjalan sesuai rencana.
Menurut Arya, bisnis Whoosh saat ini menunjukkan perbaikan. Frekuensi perjalanan kereta mencapai 40 perjalanan per hari dari target 60 perjalanan.
Selain itu, okupansi penumpang meningkat menjadi 21.000 penumpang dari target 30.000 penumpang per hari. Arya menyatakan bahwa peningkatan ini terjadi secara bertahap.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN dan perusahaan perkeretaapian China, Beijing Yawan HSR Co.Ltd, dengan skema business to business (B2B). Konsorsium BUMN yang terlibat dalam proyek ini termasuk PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara III (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT KAI (Persero).
Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, menjelaskan bahwa dua faktor utama penyebab kerugian adalah beban bunga dan beban lain-lain. Beban bunga meningkat karena perusahaan harus menerbitkan surat utang (obligasi) untuk membiayai proyek Kereta Cepat Whoosh. Beban lain yang termasuk adalah beban provisi dan administrasi dari utang yang diperoleh WIKA.
Agung menambahkan bahwa WIKA menyetor modal cukup besar ke proyek Kereta Cepat Whoosh melalui PSBI, dengan dana yang digelontorkan mencapai Rp 6,1 triliun. Selain itu, masih ada dana sekitar Rp 5,5 triliun yang masih dalam perselisihan atau belum dibayar, sehingga totalnya hampir mencapai Rp 12 triliun.
Untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut, WIKA harus melakukan pinjaman melalui penerbitan obligasi, yang menyebabkan beban bunga yang tinggi bagi perusahaan. Agung menjelaskan bahwa perusahaan harus mengambil langkah ini untuk mendapatkan modal yang diperlukan.