JAKARTA- Cobisnis.com Isu perubahan iklim yang kian marak memunculkan gagasan bisnis yang terkait dengan pelestarian lingkungan. Ditambah lagi, pemerintah sedang gencar mendukung program ekonomi hijau, sehingga meningkatkan awareness publik tentang eksistensi perusahaan hijau. Hal ini pulalah yang mendorong pertumbuhan startup hijau. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan startup hijau?
Atika Benedikta, Impact Investment Lead dari Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), menjelaskan, startup hijau merupakan usaha yang memiliki target di tiga area, yaitu people, profit, dan planet. Artinya, apa pun yang mereka lakukan, baik dalam solusi atau produk yang ditawarkan, proses bisnis, maupun rantai nilai, mencakup tiga aspek tersebut. “Jadi, sebuah startup hijau perlu punya revenue generation tapi juga tidak merusak atau bahkan memberi dampak positif terhadap lingkungan dan manusia (komunitas, anggota tim, dan stakeholder),” kata Atika.
Ia menambahkan, startup hijau tak harus selalu menekankan pada teknologi, melainkan pada high-growth innovation. Usaha itu bisa dijalankan secara offline atau tidak digital seratus persen, tapi ada inovasi yang memungkinkan usaha tersebut tumbuh secara cepat. Meski demikian, kerap kali teknologi menjadi bagian penting karena merupakan faktor yang bisa mempercepat peningkatan skala usaha.
Atika menjelaskan, startup hijau tak harus sangat inovatif sehingga mahal dari sisi teknologi. Bisa jadi solusi yang dibutuhkan tidak harus serumit itu. Ketika sebuah startup sudah berkembang dan punya sumber daya yang lebih besar, nantinya dia bisa mengadopsi teknologi yang lebih sophisticated. “Mulailah dulu dari teknologi yang sederhana. Perubahan proses bisnisnya bisa kecil tapi signifikan. Daripada bermimpi terlalu besar tapi tidak mulai-mulai,” kata Atika.
Hal yang sering menjadi tantangan bagi sebuah startup hijau adalah funding atau pembiayaan. Dan, mendapatkan investor bukan hal yang mudah dan cepat. Walaupun, startup hijau sangat relevan untuk zaman sekarang karena awareness konsumen sudah terbangun. Lalu, bagaimana cara agar Anda bisa mendapatkan pembiayaan untuk menjalankan startup hijau?
1. Pahami kebutuhan Anda
Di dunia bisnis terdapat berbagai macam tipe pendanaan. Atika bercerita, ANGIN mengarahkan startup hijau untuk mendapatkan pembiayaan dari NGO investor yang nantinya mengarah pada venture capital. Tapi, selain itu, terdapat tipe pendanaan lain, seperti microfinance atau working capital loan (kredit modal kerja). Karena itu, Anda perlu menyesuaikan kebutuhan usaha dan tipe pendanaan yang tersedia.
“Pastikan Anda tahu benar membutuhkan modal untuk apa. Mungkin saja startup Anda lebih tepat mendapatkan dana dari kredit modal kerja, bukan dari NGO investor, karena Anda membutuhkan dana besar untuk produksi,” kata Atika.
Ia mengamati, salah satu faktor yang membuat sebuah startup tidak mendapatkan pembiayaan adalah capital mismatched. Misalnya, Anda membutuhkan modal besar karena perlu membeli mesin yang sangat mahal. Tapi, investor yang tersedia sekarang bukan investor untuk mesin, melainkan investor yang melihat pertumbuhan teknologi digitalnya. “Bukan salah siapa-siapa, hanya berbeda kebutuhan saja. Jadi, Anda perlu mencari investor yang bisa mengubah gaya investasinya,” kata Atika.
2. Cari tahu investor yang bergerak di sektor yang Anda geluti
Jenis usaha yang termasuk dalam sektor hijau terbilang luas. Sejumlah perusahaan sudah jelas fokus pada solusi lingkungan, misalnya waste management, agrikultur berkelanjutan, dan energi terbarukan. Tapi, ada juga startup yang dikategorikan sebagai startup hijau, meskipun inti bisnisnya bukan pada penanganan isu lingkungan. Misalnya, produk fashion yang prosesnya pembuatannya menggunakan pewarna natural dan proses pengolahan limbahnya tidak merusak lingkungan.
“Karena tipe sektor yang berbeda, misalnya ada energi dan ada consumer good, maka Anda perlu cari tahu siapa investor yang sudah familiar di sektor tersebut,” kata Atika.
Selain itu, pahami juga tipe investornya. Kalau startup Anda menawarkan solusi jangka panjang yang membutuhkan dana besar dalam jangka panjang juga, artinya tidak cocok dengan investor yang menginginkan pertumbuhan bisnis jangka pendek dan dalam waktu cepat. “‘Appetite’ antara startup dan investor harus cocok,” kata Atika.
Edwin Tan, co-founder Evo&Co yang membuat produk kemasan dari bahan ramah lingkungan, bercerita, berbekal pengalamannya yang panjang di dunia investasi, ia bisa mendapatkan investor yang punya perhatian khusus terhadap isu lingkungan, baik individu maupun korporasi. “Karena pengalaman itu, kami jadi tahu latar belakang investor. Apalagi, tugas saya di perusahaan ini memang mencari investor. Ketika perusahaan membutuhkan dana, saya yang akan mencari dana itu,” kata Edwin.
3. Pastikan punya tim yang tepat
Investor akan melihat apakah anggota tim di balik sebuah startup adalah orang-orang yang tepat, termasuk pendirinya. Atika menjelaskan, “Mereka akan menggali, apakah pendiri startup ini merupakan orang yang tepat? Apakah ada expert yang mengerti soal sektor hijau? Apakah ada key people yang punya akses menuju sumber daya bahan baku? Karena usahanya bersifat hijau, maka bahan bakunya tentu akan dipilah. Apakah ada anggota tim yang punya akses ke market? Apakah tim mengerti perilaku konsumen yang percaya pada solusi hijau yang ditawarkan?”
Atika menyarankan, founder sebuah startup hijau sebaiknya tidak satu orang. Karena, dia tidak bisa melakukan semuanya sendirian saja. Misalnya, Anda berminat untuk bergerak di pengelolaan sampah, tapi bukan ahli di bidang tersebut. Diperlukan co-founder untuk mengisi skill yang tidak Anda miliki. Jadi, untuk mendirikan startup hijau, Anda tak perlu jadi ahli di sektor hijau, tapi bisa menjalin kemitraan dengan co-founder yang punya kesamaan visi.
Para founder Evo&Co lebih banyak menguasai bidang marketing dan edukasi pada publik. Menurut Edwin, karena masyarakat masih tergolong awam dalam hal yang berkaitan dengan produk ramah lingkungan, maka mereka perlu mengadakan edukasi. “Di dalam perusahaan kami tidak ada co-founder yang ahli dalam bidang lingkungan, meski kami punya passion yang besar dalam isu tersebut. Karena itu, kami kemudian berkolaborasi dengan lembaga yang melakukan riset,” kata Edwin.
4. Siapkan business model
Menurut Atika, startup punya sifat yang berbeda dari UKM konvensional. Jika bicara soal startup, artinya ada ekspektasi dalam hal high growth mindset. Sementara itu, UKM cenderung lebih stabil, karena yang ditekankan adalah perputaran uang. Investor juga akan melihat seperti apa business model yang dirancang.
Ia bercerita, sejumlah startup hijau masih mengandalkan hibah dalam menjalankan proyeknya. Karena, sektor waste dan energi punya tipe pembeli yang berbeda dibandingkan pembeli consumer product. “Untuk pilot project, mereka membutuhkan dana besar sehingga kemudian mengandalkan hibah. Tapi, sampai kapan mau mengandalkan hibah? Kalau terus-menerus mengandalkan hibah, artinya proyek itu bukan bisnis. Karena itu, Anda perlu merancang model bisnis yang tepat tentang rencana di masa mendatang agar bisa mandiri,” katanya.
Atika menegaskan, model bisnis startup hijau harus berkelanjutan dari dua sisi. Secara bisnis, akan ada repeat buying. Sementara itu, secara lestari, punya dampak positif terhadap manusia dan planet.
5. Validasi ide
Berdasarkan pengamatan Atika, ada startup hijau yang solusinya terlalu inovatif. Akibatnya, pasar belum siap untuk menggunakannya, karena harganya jadi terlalu mahal. “Ada cara yang lebih sederhana dan tidak harus terlalu inovatif untuk sekarang ini. Jadi, perlu memanfaatkan momentum yang tepat, sehingga solusinya tervalidasi secara bisnis,” kata Atika.
Karena itu, ia menyarankan, sebelum maju ke investor, pastikan Anda sudah melakukan validasi ide. Apakah benar solusi yang dihipotesiskan memang dibutuhkan oleh pasar? Bisa jadi kita berpikir bahwa itu merupakan solusi paling tepat. Tapi, pada kenyataannya tidak tepat bagi pengguna. Saat melakukan proses validasi ke pasar, akan terbangun knowledge tentang pasar dan masukan tentang produk itu.
Untuk startup hijau, data memainkan peran penting. Misalnya, tujuan besar sebuah startup adalah mengurangi plastik. Namun, dalam prosesnya malah justru menambah emisi karbon. Itu tidak ideal. Hanya saja, paling tidak tujuan besarnya tercapai, kemudian dia perlu mencari cara untuk mengurangi emisi karbon.
“Dampak dari startup hijau seperti ini tidak terlihat di tahun depan atau dua tahun dari sekarang. Mungkin baru akan terlihat pada tahun keenam. Itulah mengapa Anda perlu punya data yang menunjukkan bahwa solusi yang Anda tawarkan bisa mengurangi emisi karbon di tahun kesekian. Nantinya startup terkait sampah akan engage dengan pemerintah dan korporasi lebih besar. Mereka pasti akan memerlukan data agar bisa percaya bahwa solusi Anda memang tepat,” kata Atika.
Edwin, yang juga memiliki latar belakang pengalaman di bidang finance, sudah terbiasa bermain dengan analisis data. Karena itu, sebelum maju ke investor, ia sudah menyiapkan berbagai data yang dibutuhkan, misalnya analisis pasar. Karena itu, mereka bisa mendapatkan investor dengan cukup mudah.