Cobisnis.com – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim menyatakan kenaikan harga pangan seperti kedelai yang sempat terjadi kelangkaan turut dipengaruhi pandemi Covid-19 yang akhirnya juga mempengaruhi supply & demand di pasaran.
Terlebih, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) telah memberi peringatan bahwa pandemi Covid-19 bisa berdampak pada kelangkaan pangan dunia atau krisis pangan dunia.
Sebagai contoh, Rizal menyebut pasokan kedelai dari importir tidak dapat segera ditambah sementara Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) – sebelumnya PSBB – berdampak kepada distribusi pasokan bahan baku, sehingga terjadi kenaikan harga kedelai di Indonesia.
Rizal menyebut pengendalian keamanan pangan diatur oleh Pemerintah melalui UU No. 18 Tahun 2012 tentang pangan. Pasal 71 ayat 1 menyatakan setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan sehingga keamanan pangan terjamin.
Selain itu, peraturan Menteri Perdagangan No. 07 Tahun 2020 juga mengatur tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
“Untuk komoditi kedelai lokal Harga Acuan Pembelian di tingkat petani
Rp8.500/kg dan kedelai lokal Harga Acuan Penjualan ke pengguna pengrajin tahu/tempe Rp9.200/kg. Sedangkan kondisi negara penghasil kedelai di luar negeri/impor harga acuan pembelian di tingkat petani Rp6.550/kg, dan harga acuan kedelai ex impor penjualan di dalam negeri ke pengguna pengrajin tahu/tempe Rp6.800/kg,” kata Rizal dalam keterangannya, Jumat (22 Januari 2021).
Rizal menanggapi kelangkaan tahu tempe di pasaran bukan terjadi di tahun ini saja. Paling tidak hal serupa pernah terjadi sebelumnya pada bulan Januari 2008, Juli 2012, dan September 2013.
Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Firman T. Endipraja, mengatakan masa pandemi adalah masa penuh tantangan di mana banyak masyarakat yang pendapatannya berkurang bahkan tidak ada sama sekali akibat PHK, dirumahkan/cuti tanpa gaji, kerja di rumah (work from home).
“Keberadaan tahu tempe untuk makan keluarga sangat dibutuhkan. Untuk itu
sudah saatnya mengembalikan swasembada kedelai seperti 1992 dengan cara mengevaluasi kembali regulasi impor yang dikeluarkan pada 1998,” kata Firman.
BPKN berharap pemerintah mengambil kebijakan perbaikan perlindungan konsumen di masa pandemi ini, sementara berbagai pihak bisa saling berkoordinasi menggunakan data yang valid demi kelancaran proses produksi, distribusi, dan kepastian ketersediaan pasokan serta harga kedelai yang terjangkau konsumen.
“Ini sebenarnya tidak hanya fokus pada kedelai saja, namun produk bahan pangan lainnya. Tujuannya adalah agar Indonesia terhindar dari bayang-bayang krisis pangan atau penurunan kualitas dan keamanan pangan,” ujarnya.
Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Johan Efendi, meminta pengawasan dari Pemerintah juga harus diperketat.
“Jangan sampai para importir memberlakukan harga yang jauh di atas rata- rata. Hal ini akan memicu para perajin tahu dan tempe berhenti produksi. Harus ada juga rencana
strategis yang mendukung produksi kedelai lokal seperti dengan perluasan area lahan tanam kedelai lewat Food Estate untuk menciptakan ketahan pangan,” kata Johan Efendi.
“Dan untuk itu diperlukan perhatian dan keterlibatan banyak sektor di kementerian/lembaga pemerintah serta masyarakat pemangku kepentingan di bidang pertanian,” ujarnya.