JAKARTA, Cobisnis.com – Pasar minyak dunia kembali dalam sorotan setelah aliansi produsen OPEC+ gagal memenuhi target produksi sejak April 2025. Organisasi yang mencakup negara-negara OPEC ditambah Rusia dan sekutunya itu hanya mencapai sekitar 75 persen dari kuota produksi yang telah ditetapkan.
Kegagalan OPEC+ ini menimbulkan dampak signifikan bagi pasar global. Dengan pasokan lebih rendah dari kebutuhan, kondisi suplai minyak menjadi semakin ketat. Situasi ini memperkuat sentimen kenaikan harga yang telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Tekanan pasar semakin diperbesar oleh langkah Rusia yang memangkas ekspor bahan bakar. Pemotongan ekspor tersebut dilakukan dengan alasan untuk menjaga pasokan dalam negeri, namun berimbas langsung pada pengurangan suplai ke pasar internasional.
Kombinasi produksi yang seret dan ekspor yang dipangkas membuat harga minyak melonjak tajam minggu ini. Kenaikan tersebut bahkan menjadi yang terbesar dalam tiga bulan terakhir, menandakan pasar energi global tengah berada dalam fase pengetatan serius.
Bagi negara importir, kenaikan harga minyak berpotensi menambah beban fiskal. Biaya subsidi energi akan meningkat, sementara harga BBM nonsubsidi diperkirakan naik. Kondisi ini dapat menekan daya beli masyarakat dan memicu inflasi baru.
Sebaliknya, bagi negara produsen minyak yang masih mampu menjaga level produksi, situasi ini justru memberi keuntungan tambahan. Arab Saudi, Irak, dan beberapa anggota OPEC lain dapat menikmati kenaikan pendapatan dari harga jual yang lebih tinggi.
Indonesia sebagai importir minyak bersih diperkirakan akan menghadapi konsekuensi ganda. Di satu sisi, kebutuhan subsidi energi meningkat. Namun di sisi lain, harga komoditas energi alternatif seperti batubara dan CPO cenderung ikut terdongkrak, memberikan peluang lebih besar di pasar ekspor.
Bagi pasar global, tren harga minyak yang menguat bisa kembali memicu kekhawatiran inflasi energi. Lonjakan biaya logistik dan transportasi akan terasa di berbagai sektor, mulai dari penerbangan, pelayaran, hingga rantai pasok manufaktur.
Pengamat menilai, selama produksi OPEC+ belum kembali ke level target dan Rusia tetap menahan ekspor bahan bakar, harga minyak cenderung bertahan tinggi. Ketidakpastian ini juga berpotensi memengaruhi keputusan kebijakan moneter di berbagai negara.
Kondisi energi yang ketat menambah kompleksitas dinamika ekonomi global pada 2025. Ketika pertumbuhan dunia menghadapi tekanan dari sisi geopolitik dan perdagangan, pasar minyak kini muncul sebagai salah satu faktor risiko terbesar bagi stabilitas inflasi.














