Cobisnis.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong perusahaan-perusahaan asuransi untuk meningkatkan komitmen kepatuhan mereka terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jika lalai, sanksi administratif hingga penurunan tingkat kesehatan perusahaan asuransi siap menanti.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 1A OJK Ariastiadi mengatakan, sampai dengan 31 Desember 2019 merupakan masa transisi pemenuhan Direktur Kepatuhan sesuai Peraturan OJK (POJK) 73/2016.
“Yang belum menunjuk Direktur Kepatuhan, maka menunjuk satu direktur yang membawahi fungsi kepatuhan namun tidak fungsi yang membawahi fungsi teknik asuransi sesuai pasal 8 ayat 1 dan 2,” kata Ariastiadi di Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Kemudian, POJK 43/2019 yang merupakan penyempurnaan POJK sebelumnya, menegaskan perusahaan asuransi harus memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan paraturan perundang-undangan lain.
“Selanjutnya pasal 8 mengatur perusahaan asuransi wajib menunjuk satu direksi yang membawahi fungsi kepatuhan, namun tidak boleh membawahi fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, dan fungsi pemasaran,” ujarnya.
Sementara itu, pasal 8 ayat 3 mengatur bahwa OJK berdasarkan hasil pengawasan dapat meminta anggota direksi yang hanya membawahi fungsi kepatuhan.
“Direktur kepatuhan kosong kita lakukan fit and proper test. Dengan demikian, semua aktivitas bisnis asuransi harus patuh pada ketentuan yang berlaku,” ucapnya.
Hingga saat ini, sebanyak 25 perusahaan asuransi (dari 130 perusahaan) sudah memiliki Direktur Kepatuhan. Meski baru 25 perusahaan yang memiliki Direktur Kepatuhan, seluruh perusahaan asuransi sudah memiliki direksi yang membawahi fungsi kepatuhan.
Menurut Ariastiadi, tidak semua anggota populasi perusahaan asuransi mampu menunjuk Direktur Kepatuhan. Meski begitu, mereka harus memiliki komitmen kepatuhan dengan memiliki direksi yang membawahi fungsi kepatuhan.
“Jadi, tidak ada aturan baku untuk Direktur Kepatuhan. Ini tergantung pada volume dan pangsa pasar, nilai premi dibandingkan total aset, variasi produk asuransi dan variasi investasinya. Kalau itu semua bersifat eksesif, maka harus ada Direktur Kepatuhan,” papar dia.
Dia juga mencontohkan perusahaan asuransi yang memiliki produk yang komplek seperti asuransi jiwa plus asuransi-asuransi lainnya.
“Kalau perusahaan tersebut tidak mau mengangkat seorang Direktur Kepatuhan, maka sanksinya adalah izin produk tersebut akan ditunda. Ini berlaku baik untuk asuransi maupun reasuransi,” katanya.
Sanksi tersebut merupakan bagian dari pembinaan dari regulator dan dilakukan secara berjenjang mulai dari sanksi administratif hingga keharusan memiliki Direktur Kepatuhan atau direksi yang membawahi fungsi kepatuhan.
“Kalau tidak dipenuhi, kita akan turunkan tingkat kesehatan perusahaan asuransi tersebut. Levelnya satu sampai lima (1-5) di mana 1 sehat hingga 5 tidak sehat,” dia membeberkan.
Perihal sanksi penurunan tingkat kesehatan tersebut, OJK sedang menyempurnakan POJK 71/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Beleid ini direncanakan berlaku pada 31 Desember 2020.
“Dengan penyempurnaan POJK ini, informasi menjadi lebih komprehesif, lebih berkualitas dan pengawasannya menjadi lebih antisipatif,” imbuh Ariastiadi. (Jawarul Kunnas)