Cobisnis.com – Pemerintah Indonesia menjadi negara pertama yang melakukan kerja sama dengan Uni Eropa (UE) untuk memerangi perdagangan kayu ilegal.
Kerja sama tersebut menjadi contoh pengelolaan perbedaan yang baik antara negara penghasil kayu dan negara pengimpor kayu.
“Inisiatif ini dapat menjadi model yang efektif bagi negara-negara dalam upaya memerangi perdagangan kayu ilegal secara global,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Yuri O. Thamrin di hadapan Sidang Tahunan Komite Penegak Hukum, Organisasi Cukai Dunia (WCO Enforcement Committee) di Brussels, Belgia, pada 24 Februari lalu.
Sejak November 2016, Indonesia dan UE telah menerapkan kerja sama yang disebut the Indonesia – EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Voluntary Partnership Agreement (VPA).
Melalui kerja sama ini, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap kayu-kayu yang akan diekspor ke wilayah UE.
Hanya kayu-kayu yang lolos SVLK yang dapat dibeli oleh negara-negara UE dari Indonesia. Berkat kerja sama ini, ekspor kayu dari Indonesia ke UE menikmati “green lane,” atau fasilitas tanpa pemeriksaan fisik.
Pengalaman baik ini oleh Sekjen WCO Kunio Mikuriya, dipandang penting untuk dibagi dengan para penegak hukum (dari bidang cukai) dari seluruh dunia yang berkumpul di Brussel untuk pertemuan tahunan dari tanggal 24 hingga tanggal 28 Februari 2020.
Untuk alasan ini, Mikuriya telah mengundang Dubes Yuri O. Thamrin untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan pencerahan dari Indonesia yang telah memulai kerja sama FLEGT dengan UE.
Selain paparan Dubes Thamrin, isu FLEGT ini juga dibahas secara detail oleh 4 pembicara lainnya, yakni perwakilan CITES, pejabat UE (Ditjen Lingkungan), pejabat cukai dari India dan pejabat cukai dari Indonesia.
Dubes Yuri juga mengambil kesempatan ini mengingatkan UE untuk berupaya menutup berbagai kekurangan (loopholes) dan memperbaiki sikap mereka agar negara yang sudah memenuhi kriteria UE (compliant) seperti Indonesia tidak dirugikan.
Ia menyampaikan bahwa proses lisensi FLEGT di Indonesia memerlukan biaya yang tidak sedikit dan cukup membebani SMEs. Karena itu, upaya mereka untuk patuh terhadap persyaratan yang diatur dalam lisensi perlu diapresiasi.
Ditegaskan pula, penting bagi UE untuk memastikan fairness bagi produk kayu Indonesia yang telah memiliki lisensi FLEGT. Beberapa importir UE lebih memilih produk kayu dengan harga murah dan tidak menguji asal-muasalnya.
Hambatan lainnya misalnya masih adanya penafsiran dan praktek penegakan hukum yang berbeda antara negara-negara anggota UE dalam implementasi regulasi kayu UE (European Union Timber Regulation/EUTR).
“Praktik penegakan hukum yang berbeda ini banyak dimanfaatkan oleh penyelundup. Oleh karena itu, penegakan hukum terkait regulasi kayu UE harus lebih diperkuat,” tambah Dubes Yuri.
Sambil menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia dalam memerangi perdagangan kayu ilegal dan kerja sama dengan UE, Dubes Yuri juga menyampaikan harapan agar ke depannya, kerja sama ini dapat ditingkatkan lebih baik lagi dan berharap importir UE tidak lagi membeli kayu-kayu yang ilegal dari negara-negara yang belum melakukan kerja sama FLEGT. (KBRI Brussels)