NUSA DUA, Cobisnis.com – Minyak kelapa sawit terbukti menjadi minyak nabati paling efisien di dunia, berkontribusi hingga 35 persen terhadap total pasokan minyak nabati global meski hanya memanfaatkan kurang dari 10 persen total lahan pertanian minyak nabati.
Hal itu disampaikan oleh Alain Rival, Senior Project Manager dari lembaga riset asal Prancis, CIRAD (Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement).
Rival menjelaskan, untuk menghasilkan satu ton minyak kelapa sawit, hanya dibutuhkan 0,26 hektare lahan, jauh lebih efisien dibandingkan tanaman penghasil minyak lain seperti rapeseed (1,25 hektare), bunga matahari (1,43 hektare), dan kedelai (2 hektare).
“Efisiensi lahan inilah yang membuat minyak sawit tetap menjadi komoditas strategis dalam pangan dan energi global,” ujar Rival di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025)..
Meski efisien, perkembangan industri sawit juga menghadirkan tantangan lingkungan.
Sejak tahun 2000 hingga 2020, luas perkebunan sawit meningkat dua kali lipat dari 13,9 juta hektare menjadi 28,4 juta hektare. Pertumbuhan ini, menurut Rival, menuntut adanya transformasi teknologi dan digitalisasi untuk menjaga keberlanjutan produksi.
“Teknologi digital seperti drone, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi kerugian panen, dan memperkuat sistem pemantauan rantai pasok,” jelasnya.
Namun, Rival mengungkapkan bahwa baru sekitar 25 persen petani kecil terutama perempuan dan petani di pedesaan yang memanfaatkan teknologi digital karena terbatasnya konektivitas, biaya tinggi, dan rendahnya literasi digital.
Selain tantangan teknologi, industri sawit juga menghadapi fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar. Rival menyebut tiga faktor utama penyebabnya:
1. Kebijakan biodiesel yang menyerap produksi sawit domestik,
2. Dampak cuaca ekstrem seperti El Niño yang menurunkan hasil panen, dan
3. Fluktuasi nilai tukar yang memengaruhi daya saing ekspor.
Dari sisi keberlanjutan, baru 17 persen perkebunan sawit petani yang bersertifikat, menunjukkan bahwa akses terhadap standar keberlanjutan masih rendah.
Rival juga menyoroti ketimpangan gender, di mana kepemilikan lahan oleh perempuan masih di bawah 15 persen, serta kondisi tenaga kerja migran yang belum terlindungi dengan baik.
Sementara itu, rantai pasok sawit yang kompleks turut menjadi tantangan besar. Lebih dari 2.000 pabrik di Indonesia mengumpulkan hasil dari petani kecil, menyebabkan pencampuran tandan buah segar (TBS) dan tingginya biaya sertifikasi.
Rival menjelaskan, biaya pengurusan standar keberlanjutan bisa mencapai:
USD 8–10 per ton untuk perkebunan besar,
USD 15–20 per ton untuk perkebunan menengah,
USD 30–40 per ton bagi petani kecil.
Namun, minyak sawit bersertifikat memperoleh premi harga 3–8 persen, yang secara langsung meningkatkan keuntungan produsen. Jika disertai penguatan koperasi petani kecil yang inklusif, pendapatan petani bisa naik 15–20 persen.
“Keberlanjutan tidak hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang keadilan sosial dan ekonomi bagi petani kecil, terutama perempuan,” tegas Rival.
Menurutnya, dukungan digitalisasi dan pembentukan koperasi modern akan menjadi fondasi penting bagi masa depan industri sawit yang efisien, transparan, dan inklusif.














