JAKARTA, Cobisnis.com – Pesatnya pertumbuhan transaksi digital di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kehadiran QRIS. Sistem pembayaran berbasis kode QR ini awalnya kerap dipandang sebelah mata, namun kini justru menjadi tulang punggung transaksi non-tunai di berbagai sektor.
QRIS sendiri merupakan standar pembayaran nasional yang dikembangkan Bank Indonesia dengan mengadaptasi teknologi kode QR. Keberadaannya terbukti memberi dampak signifikan terhadap ekosistem pembayaran digital di Tanah Air.
Data menunjukkan, pada 2023 transaksi QRIS tercatat sebanyak 2,1 miliar transaksi dengan nilai mencapai Rp226 triliun. Angka tersebut melonjak tajam pada 2024, menjadi 6,2 miliar transaksi dengan total nominal sekitar Rp659 triliun, hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Awal Mula Teknologi QR Code
Teknologi QR Code berawal dari tangan Masahiro Hara, seorang insinyur asal Jepang yang lahir di Tokyo pada 8 Agustus 1957. Ia merupakan lulusan Universitas Hosei dari jurusan teknik listrik dan elektronik.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Hara bergabung dengan Denso Wave, perusahaan teknologi otomotif yang merupakan anak usaha Toyota. Di sanalah ia mendapat tugas mengembangkan sistem pemindaian barcode yang lebih efisien.
Dalam prosesnya, Hara menemukan berbagai keterbatasan pada barcode konvensional. Bersama timnya, ia kemudian mengembangkan sistem baru yang mampu memindai data jauh lebih cepat. Setelah sekitar satu setengah tahun riset, QR Code berhasil diciptakan dengan kecepatan baca hingga sepuluh kali lebih cepat dibanding barcode biasa.
Seiring waktu, QR Code digunakan secara luas di berbagai bidang, mulai dari industri hingga kehidupan sehari-hari.
Peran Bank Indonesia dalam Lahirnya QRIS
Berbeda dengan QR Code, QRIS merupakan standar pembayaran digital yang dirancang khusus oleh Bank Indonesia. Sistem ini dikembangkan bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) di bawah kepemimpinan Gubernur BI saat itu, Perry Warjiyo.
QRIS resmi diperkenalkan pada 17 Agustus 2019 dan mulai diterapkan secara nasional sejak 1 Januari 2020. Tujuan utamanya adalah menyatukan berbagai layanan pembayaran digital ke dalam satu standar kode QR agar transaksi menjadi lebih praktis dan efisien.
Pada tahun pertama penerapannya, QRIS mencatatkan transaksi sebesar Rp8,21 triliun dengan volume sekitar 124 juta transaksi. Sejak itu, pertumbuhannya terus melesat hingga pada 2024 volume transaksi menembus lebih dari 6,2 miliar dengan nilai hampir Rp660 triliun.
Dampak Besar bagi UMKM dan Tantangan Global
Salah satu keunggulan utama QRIS adalah keberpihakannya terhadap pelaku UMKM. Hingga kini, lebih dari 38 juta UMKM telah memanfaatkan QRIS untuk mendukung aktivitas usaha mereka.
Selain transaksi domestik, QRIS juga mulai dikembangkan untuk transaksi lintas negara, termasuk dengan Jepang, Tiongkok, dan Arab Saudi. Langkah ini menjadi bagian dari upaya memperluas ekosistem pembayaran digital Indonesia di tingkat internasional.
Namun, kesuksesan QRIS juga memicu sorotan dari luar negeri. Amerika Serikat, melalui laporan United States Trade Representative (USTR), menilai QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional berpotensi menjadi hambatan perdagangan karena dinilai membatasi ruang bagi perusahaan global seperti Visa dan Mastercard.
Menanggapi hal tersebut, Ketua ASPI Santoso Liem menyebut kekhawatiran tersebut sebagai hal yang wajar dalam persaingan global, seraya menegaskan bahwa Indonesia tetap terbuka untuk kolaborasi.














