JAKARTA, Cobisnis.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan alasan perbedaan denda administratif bagi kegiatan tambang yang melanggar aturan di kawasan hutan. Pemerintah menegaskan, dasar perhitungannya mengikuti potensi keuntungan tiap komoditas.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Tri Winarno mengatakan, setiap komoditas memiliki nilai ekonomi berbeda, sehingga besaran denda harus proporsional. Ia mencontohkan bahwa laba bersih yang dapat diperoleh dari nikel, bauksit, timah, atau batubara tidak berada pada level yang sama.
Pemerintah baru menetapkan aturan baru lewat Keputusan Menteri ESDM 391.K/MB.01/MEM.B/2025 yang mengatur tarif denda untuk empat komoditas utama: nikel, bauksit, timah, dan batubara. Aturan ini menjadi turunan dari PP 45/2025 terkait mekanisme sanksi administratif sektor kehutanan.
Regulasi tersebut dirumuskan melalui kesepakatan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Pemerintah menyatakan skema baru ini disusun untuk memastikan penegakan hukum berjalan efektif dan objektif.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, kebijakan denda merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap pelanggaran kaidah tambang, terutama jika aktivitasnya berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Ia menekankan bahwa pencabutan izin akan diambil bila pelaku tidak tertib.
Besaran dendanya kini diatur berbeda. Nikel menjadi komoditas dengan nilai denda tertinggi mencapai Rp6,5 miliar per hektare, bauksit Rp1,7 miliar per hektare, timah Rp1,2 miliar per hektare, dan batubara Rp354 juta per hektare. Pemerintah menilai rentang nilai ini sesuai bobot ekonomi masing-masing komoditas.
Skema berbasis nilai ekonomi dinilai penting untuk memberikan efek jera. Pemerintah juga berharap pendekatan ini dapat menekan pelanggaran berulang di kawasan hutan yang selama ini menyebabkan kerusakan ekologis dan konflik sosial.
Semua proses penagihan denda akan dilakukan oleh Satgas PKH dan tercatat sebagai PNBP sektor energi dan sumber daya mineral. Mekanisme ini dibuat agar alur pengawasan lebih terpusat dan transparan.
Beleid tersebut berlaku sejak ditetapkan pada 1 Desember 2025. Pemerintah menegaskan aturan ini menjadi dasar kuat bagi penindakan setiap operasi tambang yang melanggar batas kawasan hutan.
Dengan ketentuan baru ini, pemerintah ingin memastikan aktivitas tambang berjalan sesuai standar, seimbang dengan perlindungan lingkungan serta kepentingan masyarakat di sekitar area operasi.














