JAKARTA, Cobisnis.com – Film indie “100 Nights of Hero” menawarkan pendekatan unik dalam membangun dunia fantasi melalui penggunaan topi-topi eksentrik. Berlatar di kerajaan fiksi Migal Bavel, karya sutradara Julia Jackman ini memadukan bahasa modern, label busana kontemporer dan nuansa abad pertengahan yang tak pernah benar-benar ada. Meski dibintangi Charli XCX dan diadaptasi dari novel grafis Isabel Greenberg, film ini berhasil menciptakan atmosfer periode lampau terutama lewat desain topinya.
Kostum desainer Susie Coulthard menggunakan topi sebagai elemen kunci untuk membangun identitas visual kerajaan tersebut. Ada topi halus, berduri, hingga topi berbentuk sapu tangan yang dikenakan karakter Hero, diperankan Emma Corrin. Ragam topi mulai dari gaya pilgrim hingga pillbox mencolok karena berlawanan dengan budaya masa kini yang jarang memakai topi. Pendekatan ini merujuk pada masa ketika topi adalah simbol status dan identitas sosial.
Inspirasi Coulthard datang dari pemotretan Steven Meisel di Vogue Italia edisi Maret 2006 berjudul “Organized Robots,” yang menampilkan busana penuh renda dan bonnet unik ala Amish modern. Bersama para pembuat topi Adèle Mildred dan Gabrielle Djanogly dari Hood London, ia menciptakan 11 topi khusus untuk film ini dan mendapatkan tambahan 30 topi dari Etsy, toko religius, dan toko kostum profesional.
Beberapa di antaranya termasuk hood hitam bergaya algojo dengan hiasan tengkorak burung untuk karakter Beak Brothers, serta topi bergaya biretta untuk para penjaga bertopeng emas. Karakter Cherry, diperankan Maika Monroe, memakai dua bonnet yang terinspirasi dari editorial Meisel, dengan desain yang mencerminkan kemurnian sekaligus ambiguitas seksual digambarkan melalui “tanduk” kecil pada bonnet-nya.
Genre fantasi memberi kebebasan bagi Coulthard untuk menggabungkan elemen dari berbagai budaya dan periode sejarah tanpa batasan detail kenyataan. Charli XCX sebagai Rosa mengenakan hiasan kepala tinggi dengan ornamen bunga yang terinspirasi dari kostum rakyat kuno, sementara bonnet kedua Cherry mengambil referensi dari lukisan milkmaid Belanda seperti karya Johannes Vermeer.
Secara praktis, penggunaan topi juga menjadi strategi efektif untuk produksi film independen yang beranggaran ketat. Karena berada dekat dengan wajah aktor, topi mendapatkan porsi tampilan layar lebih banyak dibandingkan bagian kostum lain. Namun prosesnya tidak tanpa tantangan: bentuk kepala berbeda, warna kain sulit diseragamkan dan tidak semua wajah cocok dibingkai dalam bonnet. Beruntung, menurut tim pembuat topi, para pemeran seperti Monroe dan Corrin memiliki “hat heads” wajah yang cocok memakai berbagai gaya topi.














