JAKARTA, Cobisnis.com – Tidak semua film dengan bujet besar berakhir manis di box office. Beberapa justru mencatat kerugian fantastis yang bikin studio dan produser gigit jari. Dari Hollywood sampai Indonesia, ada deretan film mahal yang gagal total di pasaran.
Film John Carter produksi Disney pada 2012 masih memegang rekor sebagai film paling rugi sepanjang masa. Dengan biaya produksi mencapai US$250 juta atau sekitar Rp4 triliun, film ini hanya mampu meraup sekitar US$284 juta di box office global.
Meski sekilas terlihat menutup biaya, angka itu belum termasuk promosi yang nilainya nyaris sama besar dengan produksi. Akibatnya, Disney dilaporkan kehilangan sekitar US$130–200 juta, menjadikan John Carter simbol kegagalan produksi besar-besaran di Hollywood.
Padahal, film garapan sutradara Finding Nemo Andrew Stanton ini awalnya diharapkan bisa jadi waralaba baru sekelas Star Wars. Ceritanya tentang prajurit yang terdampar di planet Mars dinilai terlalu rumit dan kurang menjual bagi penonton umum.
Kegagalannya bahkan memengaruhi karier sang sutradara dan membuat Disney membatalkan rencana sekuel. Studio pun melakukan evaluasi besar-besaran terhadap proyek fantasi setelah kerugian tersebut.
Namun, John Carter bukan satu-satunya film besar yang tumbang. Beberapa judul lain seperti The Lone Ranger (2013) dan Mulan (2020) juga mencatat kerugian ratusan juta dolar. Dalam skala global, film-film ini menunjukkan bahwa bujet besar tak menjamin sukses komersial.
Di Indonesia, fenomena serupa juga terjadi. Film Pendekar Tongkat Emas (2014) garapan Mira Lesmana dan Riri Riza disebut menelan biaya produksi sekitar Rp25 miliar, namun hanya ditonton sekitar 200 ribu orang di bioskop. Secara komersial, film itu tak balik modal.
Film lain yang mengalami nasib mirip adalah Tjokroaminoto: Guru Bangsa (2015) karya Hanung Bramantyo. Film sejarah dengan set dan kostum megah itu diakui sutradaranya sebagai karya penting tapi gagal secara finansial.
Kedua film ini jadi contoh bagaimana produksi besar di Indonesia masih berisiko tinggi, terutama jika genrenya tidak sesuai dengan selera pasar. Meski begitu, keduanya tetap diapresiasi karena mendorong perfilman lokal berani menantang batas.
Dari Hollywood hingga Indonesia, kisah film-film ini jadi pengingat bahwa industri hiburan bukan hanya soal kreativitas, tapi juga strategi bisnis. Sebab di balik setiap karya spektakuler, selalu ada risiko besar yang mengintai di layar belakangnya.














