JAKARTA, Cobisnis.com – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan setelah terungkap besarnya beban utang dan bunga yang kini harus ditanggung oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Proyek yang semula digadang sebagai kerja sama murni antarperusahaan (business to business) kini terbukti tak lepas dari dukungan dana negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selama proses pembangunannya, KCJB mengalami pembengkakan biaya yang signifikan. Dari perhitungan awal yang optimistis, nilai investasi akhirnya membengkak hingga mencapai 7,27 miliar dolar AS atau sekitar Rp120,38 triliun (kurs Rp16.500 per dolar). Kondisi ini mendorong KCIC menambah pinjaman dari China Development Bank (CDB) untuk menjaga keberlangsungan proyek.
Dari total investasi tersebut, sekitar 75 persen dibiayai lewat pinjaman CDB dengan bunga tetap sebesar 2 persen per tahun selama 40 tahun pertama. Sementara sisanya ditopang oleh penyertaan modal pemerintah serta ekuitas konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China. Skema pembiayaan panjang ini menimbulkan beban bunga besar bagi perusahaan pengelola.
KCIC, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) konsorsium BUMN yang dipimpin PT KAI kini mencatatkan kerugian triliunan rupiah. Kerugian ini tidak hanya bersumber dari operasional, tetapi juga dari kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang yang besar kepada pihak China.
Sebagian besar dana tambahan digunakan untuk menutup cost overrun senilai 1,2 miliar dolar AS, dengan bunga pinjaman baru di atas 3 persen per tahun. Lebih dari separuh pembiayaan tambahan tersebut kembali berasal dari pinjaman CDB, menunjukkan ketergantungan besar proyek ini terhadap sumber pendanaan luar negeri.
Beban cost overrun dibagi antara konsorsium Indonesia dan China, masing-masing sebesar 60 persen dan 40 persen. Artinya, tanggungan terbesar ada pada pihak Indonesia yang dikoordinasikan melalui BUMN. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan tekanan keuangan pada perusahaan pelat merah terkait, terutama PT KAI yang memimpin konsorsium.
Direktur Utama PT KAI saat itu, Didiek Hartantyo, menjelaskan bahwa pinjaman dari CDB terbagi dua berdasarkan denominasi. Pinjaman sebesar 325,6 juta dolar AS (Rp5,04 triliun) dikenai bunga 3,2 persen, sedangkan pinjaman dalam mata uang yuan sebesar 217 juta dolar AS (Rp3,36 triliun) dikenai bunga 3,1 persen per tahun.
Didiek menegaskan, tenor pinjaman berlangsung selama 45 tahun dengan tingkat bunga flat. Struktur ini dimaksudkan agar pembayaran dapat lebih terkendali dalam jangka panjang. Namun, skema bunga tetap yang relatif tinggi tetap menjadi tekanan bagi kinerja keuangan konsorsium Indonesia.
Sebagai solusi jangka pendek, pemerintah mengalokasikan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menutupi sebagian porsi cost overrun sebesar 25 persen yang menjadi tanggung jawab negara. Sementara 75 persen sisanya harus ditanggung oleh konsorsium BUMN melalui pinjaman CDB.
Secara makroekonomi, beban utang proyek Whoosh menjadi catatan penting bagi manajemen proyek strategis nasional. Ketergantungan pada pembiayaan eksternal dengan bunga tetap membuat proyek berisiko tinggi terhadap fluktuasi nilai tukar dan kemampuan bayar BUMN. Kondisi ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam merancang proyek infrastruktur berbiaya besar di masa mendatang.














