JAKARTA, Cobisnis.com – Dinamika pergerakan masyarakat di media sosial yang menyoroti isu seperti Peringatan Darurat, Indonesia Gelap, hingga 17 + 8, perlu dipahami secara jernih dan menyeluruh oleh semua pihak. Fenomena ini mencerminkan ekspresi keresahan publik terhadap kebijakan yang belum memenuhi harapan, namun di sisi lain juga memperlihatkan adanya indikasi penunggang gelap dari kelompok dengan agenda tertentu.
Hal ini disampaikan oleh Haryo Moerdaning Putro, pakar strategi kampanye digital, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (7/10).
“Media sosial telah melahirkan demokratisasi narasi dan membuka ruang partisipasi publik yang sangat luas. Platform ini menjadi wadah baru bagi munculnya gerakan sosial digital yang memiliki dampak positif bagi pembangunan demokrasi,” ujarnya.
Namun, Haryo menegaskan bahwa hasil pemantauan media sosial dan sejumlah riset menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan ruang digital oleh pihak-pihak dengan ideologi radikal. “Ada kecenderungan sebagian kelompok ekstrem memanfaatkan keresahan publik untuk menyusup dan mengarahkan opini publik sesuai kepentingan mereka,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa aktivitas di media sosial tidak sesederhana yang tampak di permukaan. “Di balik unggahan dan tagar yang viral, ada kekuatan algoritma, pengaruh para kreator konten besar maupun mikro, hingga keberadaan buzzer dan cyber army—baik organik maupun berbasis mesin—yang dapat membentuk persepsi publik secara sistematis,” katanya.
Jika dikendalikan oleh pihak yang memiliki kepentingan positif, kekuatan digital ini dapat menjadi sarana edukasi dan pemberdayaan. Namun, di tangan pihak yang salah, hal tersebut bisa menjadi alat propaganda dan penyebaran paham radikal.
Oleh karena itu, Haryo menilai penting bagi semua pihak—baik masyarakat, pemerintah, maupun aparat penegak hukum—untuk memahami dinamika media sosial dengan cermat. “Gerakan rakyat yang tulus memperjuangkan kepentingan bangsa harus waspada agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang ingin menciptakan instabilitas sosial dan politik,” tuturnya.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kemampuan dalam menganalisis situasi di dunia digital dengan lebih akurat. “Tidak semua suara kritis di media sosial adalah ancaman, tetapi di sisi lain, tidak semuanya juga benar-benar murni,” jelasnya.
Meski demikian, Haryo menilai media sosial tetap harus dijaga sebagai ruang publik yang sehat dan demokratis. “Kita perlu memastikan agar media sosial berfungsi sebagai ruang dialog dan partisipasi warga, bukan justru menjadi ladang penyebaran paham ekstrem,” tegasnya.
Untuk mencapai hal itu, ia mendorong adanya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, komunitas digital, serta pihak platform global untuk memperkuat literasi digital masyarakat.
“Edukasi publik harus terus diperluas agar masyarakat mampu membedakan antara gerakan murni dan propaganda yang disusupi. Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas komunikasi publiknya agar tidak membuka ruang bagi disinformasi,” jelasnya.
Di akhir pernyataannya, Haryo menegaskan bahwa media sosial adalah pedang bermata dua. “Semua pihak harus memegang pedang ini bersama, agar digunakan untuk memperkuat persatuan bangsa dan bukan sebaliknya. Media sosial seharusnya menjadi ruang demokrasi yang sehat dan produktif bagi kemajuan bersama,” pungkasnya.














