JAKARTA, Cobisnis.com – Motoko Shimada mengenang masa ketika teman sekelasnya di sekolah negeri Kota Nara, Jepang Barat, Sanae Takaichi, sudah menunjukkan bakat kepemimpinan yang kelak membawanya menjadi calon perdana menteri perempuan pertama di Jepang.
Menjelang ujian masuk SMA yang penting, Shimada lupa membawa bekal makan siang, membuatnya semakin gugup.
“Ayo kita bagi punyaku,” ujar Takaichi muda. Teman sekelas lain yang mendengar pun ikut menawarkan. “Berkat itu, aku lulus ujian masuk SMA. Aku sangat berterima kasih,” kenang Shimada.
Kisah itu menjadi salah satu dari banyak cerita yang dibagikan oleh teman-teman dan pendukung Takaichi di kampung halamannya, yang menggambarkan sisi lembut dari politikus konservatif garis keras tersebut. Takaichi mengidolakan Margaret Thatcher sosok kontroversial di politik Inggris yang dijuluki “Iron Lady”.
Terpilihnya Takaichi, 64 tahun, sebagai pemimpin Partai Demokrat Liberal Jepang memunculkan kekhawatiran bahwa pandangan nasionalis dan tradisionalnya dapat menimbulkan ketegangan dengan negara tetangga, mengasingkan minoritas, serta menghambat reformasi sosial.
Namun, ia dipilih untuk menghidupkan kembali partai yang kehilangan kendali atas kedua majelis parlemen dalam pemilu terakhir, di tengah kemarahan publik atas kenaikan biaya hidup dan meningkatnya dukungan terhadap oposisi yang menawarkan stimulus besar serta pembatasan bagi warga asing.













